"Sarapan hari ini nasi goreng?" aku bertanya dari atas tangga, berderap ke bawah sambil mencium aroma masakan yang sedap: heran kuadrat. Mimpi apa aku semalam kalau pagi ini ayah tak menghanguskan sarapan seperti biasa?
"Oh, Rai, mornin'," sapa ayah ceria, melipat koran yang tadi ia baca sebelum aku muncul dan menarik kursi di hadapannya. Jadi bukan dia yang memasak. Itu menjelaskan banyak hal―seperti kenapa aku nggak bangun karena kehabisan oksigen gara-gara dapur terbakar.
Tepat ketika aku duduk, Alga keluar dari pintu dapur, membawa dua piring penuh dengan nasi berwarna pastel menggoda dan ayam goreng keemasan.
"Selamat pagi, Rai," sapanya hangat seraya meletakkan sepiring nasi yang mengepul di hadapanku. Ada potongan bundar sosis, butir-butir polong dan jagung, wortel dadu, acar timun, irisan tomat dan bawang goreng. Sudah kubilang dia sempurna.
"Pagi, Alga," aku tersenyum. "Senang melihatmu begitu pagi. Seenggaknya aku nggak harus sarapan roti panggang keras seperti kemarin."
"Rai, just shut up and finish your meal," ayah tersenyum membunuh padaku.
Alga tertawa kecil sementara aku menyeringai, mulai menyendok dengan penuh nafsu. Well, ini pagi yang tak terlalu berantakan. Ketimbang kemarin atau lusa, ketika aku bangun terlambat, atau makan sarapan yang tak layak konsumsi, atau tersandung pakaian yang berserakan di anak tangga. Kacau total.
"Kemarin ayah meminta Alga datang lebih pagi untuk membuatkan kita sarapan dan menyiapkan makan malam sebelum jam pulangnya," ayah memberi tahu, mulutnya penuh dengan nasi dan sedikit berceceran baik di mulut maupun meja. Kemana sih, adab makan yang dia gembar-gemborkan saat aku umur enam tahun?
Dan selagi bilang begitu, ia menatapku dengan jenis tatapan berharap, dan menunggu. Aku tersenyum lebar padanya, memuji, "Cool!"―dan kembali datar dalam sepersekian detik. "Tapi Alga pulang jam empat," aku mengingatkan.
"I-kno," ayah mengangkat sendoknya saat dia berbicara, menunjukku dengan benda itu. "Kamu yang bertugas menghangatkan makanan, jadi nggak ada alasan untuk pulang terlambat," ia menegaskan.
"Kalau aku ada kegiatan ekstra gimana?" aku memprotes, sama dengannya, mulut penuh nasi.
"Kamu pilih mana, makan malam hangat atau dingin?" ayah menantang.
"Ayah bisa menghangatkannya sendiri kalau mau," aku membalas ketus.
"Sudah deh Rai, jangan sok sibuk."
"Ayah, di kamarku ada kaca. Talk to HIM," kataku pedas.
"Saya bisa pulang jam setengah lima, Tuan," Alga yang dari tadi mendengarkan adu mulut kami mulai menengahi. Mungkin juga dia bermaksud menyuruh kami makan lebih cepat tanpa mengobrol atau lainnya, kami bakal terlambat.
"Nah, it's settled then," aku menjawab lebih dulu daripada ayah yang kesulitan menelan, bergegas menyambar gelas dan meminum susu cair stroberi―benar, susu cair. Stroberi pula. Salahkan ayah, menurunkan maniak stroberinya padaku―dingin yang juga sudah Alga siapkan. "I'll go first."
Ayah melotot ketika aku menyeringai padanya dan membuka pintu depan.
"Bye~!" lambaiku, dibalas Alga dengan santun dan senyum, namun oleh ayah hanya rungutan kesal khas anak-anak.
*
*
*
Saat aku menyusuri koridor sekolah, ada beberapa anak dengan raut wajah ketakutan lewat―kami berpapasan. Cukup ketakutan untukku peduli artinya benar-benar scared-to-death. Mereka mengambil arah yang berlawanan, tapi aku yakin mereka baru saja masuk ke kelas XA2. Jadi sambil mempercepat langkah, aku berusaha menebak-nebak apa yang sedang terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
DragosteYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...