Aku terbangun ketika mendengar suara keras televisi yang menyala beberapa meter di depan. Mengerang, kuputar leher hingga menimbulkan suara 'krak-krak' seperti engsel karatan yang dipaksa bergerak. Kemudian setelah menguap sampai mengeluarkan air mata, aku bangkit dan mematikan kotak berwarna tersebut.
Hari ini Sabtu, jadi sekolah libur. Aku beruntung, karena bangunku begitu telat; sekarang saja sudah jam sepuluh pagi. Tapi kalau Minggu biasanya lebih parah. Aku bisa saja bangun jam dua siang kalau mau.
Keheningan langsung menyerang indra pendengaran begitu benda itu mati. Kulempar selimut yang melilit di kaki, lalu berjalan terseret melewati ruang makan dan menuju lorong kamar mandi. Kudorong pintunya dan menguap lagi, baru akan melangkah masuk saat sesuatu mengusik mataku.
"... morning."
Aku terpaku. Di sana, di depan wastafel, Raven berdiri dengan mulut berbusa dan kancing piyama terbuka. Tangan kirinya santai menggenggam sikat gigi, tangan lainnya bermain-main dalam wastafel yang ia sumbat dan diisi penuh dengan air―dan aku tidak yakin apa aku berhalusinasi karena melihat ada bebek karet kuning di permukaannya.
Aku merasakan wajahku terbakar, apalagi dia dengan polosnya masih bisa mengucapkan sapaan pagi dengan penampilan begitu.
"Sori," gumamku cepat dan menarik pintu kamar mandi hingga tertutup.
Aku bersandar pada daun pintu yang handle-nya masih kupegang, berusaha mengendalikan diri. Duh. Kadang aku juga berpikir aku yang aneh. Toh kami sama-sama satu gender, tapi aku bertingkah tak wajar seperti itu. Tapi kalian harus maklum. Aku selalu tinggal bersama ayah dan bahkan dekat dengan laki-laki selain ayah kadang membuatku canggung. Mungkin itu yang membuatku begitu antisosial.
Aku melenggang pergi dari lorong dan menghempaskan diriku di kursi makan, banyak-banyak menghela nafas.
Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka dan aku mengangkat kepala yang sebelumnya kutelungkupkan diantara lipatan tangan. Kulihat Raven melangkah keluar dengan wajah dan kepala basah. Rambutnya meneteskan air, dan dia mengambil handuk yang tersampir di jemuran. Aku memutar bola mata, menggerutu, karena dia mengambil handuk baby blue milikku.
"Minggir," aku berkata tanpa menatap matanya saat dia menghalangi pintu. Raven tak menambah masalah dan dia melangkah ke samping. Aku segera masuk.
Kuhabiskan beberapa menit di dalam kamar mandi untuk mendinginkan kepala (baca: mencelupkan seluruh kepalaku dalam wastafel yang kusumbat), cuci muka dan gosok gigi juga. Kelihatannya tadi Raven merobek bungkus toothbrush cadangan―yah, mengingat betapa cueknya ia tentang privasi dan hal-hal pribadi.
Begitu aku sudah keluar dari kamar mandi, aku tak melihat Raven di ruang makan. Aku berjalan ke ruang tamu dan membereskan sofa, dia juga tak ada di sana. Aku ke kamar ayah dan mematikan lampu serta menutup pintu kamar, lalu ke dapur untuk mengambil mug dan mengisinya dengan air.
Raven tak ada di lantai satu.
Lalu aku mendengar suara anak tangga yang berderit dan mengangkat muka untuk melihat Raven turun, sudah mengenakan pakaian baru yang sukses membuat mataku membesar.
"Kamu!" aku berseru. "Siapa menyuruhmu pakai baju itu?!" bentakku.
"Nggak ada," Raven mengangkat bahu santai. Dia sudah mengenakan jins hitam, dan kaos putih lengan panjang dobel rompi sleeveless bertudung warna hitam pula. Jika Raven memakai sepatu high-cut (alih-alih sandal hotel seperti sekarang) dan sedikit make-up, sudah siap konser paling dia.
Dengan tenang anak itu duduk di hadapanku yang masih bertanduk.
"Aku nggak tahu kamu punya selera fashion kelas atas," dia berkata padaku seraya menunjuk label kaos yang dipakainya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...