Aku terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk seperti biasa, dan dengan kejam menusuk-nusuk mata, memaksa siapa saja yang terkena agar cepat bangun dan bekerja. Atau sekolah? Seingatku ini hari Minggu, yang artinya, sekolah libur.
Sambil menguap, aku mencoba merenggangkan tubuh.
"Pagi, Rai."
Dan membeku.
Aku mengangkat kepala dan melihat Raven dengan mata terpejam memainkan anak rambutku. Hell, aku bahkan baru sadar aku baru saja bangun di sisinya! Setengah terlonjak, aku bangkit duduk dan Raven langsung melirikku tajam lantaran kesal ketenangannya terganggu.
Aku mengambil nafas, mengangkat alis tinggi-tinggi.
"Kenapa," aku menggigit bibir, "kamu masih ada disini."
Raven menguap malas. Dia menggeliat dan menarik selimut untuk menutupi bahunya.
"Aku menginap," jawabnya pendek.
"Aku tahu!" seruku. "Tapi kenapa... kenapa??" Serius deh, dia harus segera memberiku jawaban rasional atau lainnya, aku bakal histeris.
Alih-alih menjawab, Raven mengangkat tangan kanannya. Aku meringis melihat bukti dia berusaha membalut luka kemarin dengan perban tapi hasilnya super berantakan. Terlebih, masih ada rembesan darah terlihat jelas disana.
"Kamu ingat ini?" tanyanya datar.
Aku mengangguk lambat.
Raven malah menyunggingkan senyum. "Bagus," gumamnya, lalu merangkul leherku dan tanpa aba-aba mengecup kening. "Kamu masih ingat kalau kita terikat."
Ah, ya.
"... oleh apa, tepatnya?" aku bertanya, menatap matanya yang sekelam pualam. Ya Tuhan, aku baru sadar Raven benar-benar bisa menghentikan nafas siapapun yang menatap matanya, entah karena takut atau kagum―atau dalam kasusku, keduanya.
"Entahlah," Raven memejamkan mata, mengangkat bahu ringan. "Siapa bakal peduli? Selama kamu disisiku seperti ini, aku akan baik-baik saja."
Tanpa memberikan kesempatan untukku bicara lebih banyak atau protes lebih lanjut, Raven merangkulku jatuh dan kami berdua kembali berbaring di atas karpet. Telingaku tepat berada di atas dadanya, dan mendengar degup jantung Raven yang seirama dengan milikku membuatku terdiam.
Aku dan Raven bukan sesuatu yang sempurna. Maksudku—akui saja, dia gila dan rada psikopat, berbanding terbalik denganku yang paranoid dan sering bikin masalah. Membuat diriku terikat bersama Raven dengan sesuatu yang absurd juga tidak membantu.
Dan kami berdua tahu ini bukan cinta, atau apalah itu perasaan yang sering cewek gembar-gemborkan pada pasangan mereka. Aku rasa kami berdua tidak butuh itu. Cukup ada saja disisi masing-masing, sesederhana itu.
Kan?
*
*
*
"Ayo main game."
"Hm?"
"Permainan 'Apa yang Akan Rai Lakukan Setelah Raven Pergi', hehehe~"
Aku tercekat, sebelum mengeraskan rahang dan mengambil kursi untuk duduk di sampingnya.
"Baiklah."
Raven tersenyum tipis.
"Kalau Raven sudah pergi, Rai akaaan...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...