"Dia menarik," bayangan hitam itu tersenyum kecil saat membuka blazer navy yang sama, melemparkannya ke atas tempat tidur sehingga menutupi tas sekolahnya yang tadi ia lempar pertama kali. "Si Penjarah itu."
Dia memutar tubuh, berhadapan dengan Clarissa. Entah kenapa ia selalu lebih menyukai Clarissa ketimbang temannya yang lain. Mungkin karena Clarissa yang paling cantik, paling menarik, dan paling pendiam.
Karena cintanya pada keheningan sama besarnya dengan rasa cintanya pada kegelapan.
"Dan kamu tahu, Clarissa," sosok itu menatap mata biru Clarissa yang tajam, mengalungkan dasinya pada leher jenjang gadis itu, tersenyum menyeringai. "Kurasa laki-laki itu cukup pintar."
Fiona menyenggol kakinya saat ia meraih tangan Clarissa dari bahu Fiona. Kesal, siluet itu menendang adik Clarissa, sehingga Fiona jatuh dengan debuman, menabrak sosok-sosok lain yang terlupakan di belakangnya.
"Jangan mengganggu," dia berkata dingin pada Fiona yang sudah tersungkur. Lalu melirik Clarissa tenang. "Dan jangan marah padaku, kumohon. Adikmu lebih menyebalkan, kamu juga tahu itu kan?"
Clarissa tak menjawab.
"Ah, anak baik," dan dia tertawa, mengusap pipi Clarissa, menghabiskan malam itu dalam keremangan dan hening yang panjang.
*
*
*
Aku bersyukur hari ini ada pelajaran Kimia. Bukan, sama sekali bukan karena aku penggemar berat pelajaran itu, kumohon dengan amat sangat jangan salah sangka. I mean, setidaknya tiket masuk ke laboratorium kan jadi lebih besar. Aku bisa melihat-lihat tempat mencurigakan itu lebih lama dan dekat tanpa menimbulkan praduga apa-apa.
"Apakah kita akan melakukan penelitian, Bu?" seseorang mengangkat tangannya begitu guru Kimia―bukan yang kutemui kemarin, untungnya―bernama Bu Retno mengumumkan akan melakukan pembelajaran di lab―oh yeah~
"Tidak, kita hanya akan belajar menggunakan lab seperti yang sudah diatur, agar kalian tidak mengacau dalam penggunaan lab seterusnya," jawab Bu Retno mengundang tawa anak-anak.
Dia tipe guru kesukaanku. Ramah dan cantik seperti Alga, meski kulitnya lebih keriput karena dimakan usia dan berwarna sawo matang. Tipe keibuan, begitu lembut dan sabar dalam mengajar. Paling nggak jika Kimia dibahas olehnya, terasa lebih menarik. Selera humor Bu Retno juga ada di level bagus.
"Tapi tunggu dulu," beliau melanjutkan dengan suara yang seteduh pandangan matanya, memasukkan tangan ke dalam jas putih lab yang sejak pertama masuk kelas telah ia kenakan, melanjutkan. "Kalian harus mengembalikan alat-alat laboraturium jika sudah mengunakannya. Kembalikan setelah kalian amati dan coba, mengerti? Ada beberapa alat yang hilang saat dipakai kelas sebelas kemarin," beliau mendesah.
"Hilang?" ulangku setengah bergumam untuk diri sendiri, namun ternyata cukup keras untuk didengar satu kelas. Sementara, anak-anak lain mulai saling berpandangan.
"Apa yang hilang, Bu? Mikroskop?" seseorang―oh yeah, aku selalu sukses melupakan siapa nama mereka, maaf―mencoba melucu, dan berhasil. Sebagian murid tertawa kecil, sementara yang lain meng-'Huuu!'-nya.
"Tidak, Firman, bukan itu," Bu Retno tersenyum kecil. "Hanya beberapa stok sarung tangan karet, kaca pembesar, pisau bedah, gunting dan tabung reaksi."
Beberapa anak mengangguk-angguk.
Beberapa saja, sementara aku mengerutkan kening, merasa aneh. Kalau kau bertanya apa pendapatku, itu merupakan kehilangan yang cukup besar. Walau terbilang hanya alat-alat kecil, tapi tetap saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...