Ayah mengirimi kabar bahwa dia tidak bisa pulang ke rumah malam ini. Ketika aku membaca pesan singkat tersebut di ponsel, pikiranku langsung melayang membayangkan kalau dia mungkin ditolak dan mabuk-mabukan atau bagaimana, tapi membaca postcript-nya―yang secara teknis bahkan lebih panjang dari pesannya sendiri―membuatku melengos tak percaya.
-I'm nt comin back Rai... ( ._.)
p.s. I thnk I mst prpse 2 hr prnts immdtly@EastJv! Dunno whthr it's nxt mrning/aftr 2mrrw, bt prmiseya I'll b bck asap. Pray fomme~ ***\(-^o^-)/***
Dia sempat-sempatnya menambahi emotikon macam itu, duh.
Setelahnya aku langsung memasukkan makan malam ayah ke dalam refrigerator dan memakan habis milikku sambil menonton TV di ruang tamu. Di luar hujan turun dengan deras dan suasana di rumah lebih menyeramkan beberapa kali lipat. Memang aku sudah terbiasa ditinggal sendiri, tapi waktu itu aku lagi badmood, jadi aku berpikir, mau ada hantu kek, vampir, atau pocong, nggak bakal ngaruh.
Maka, sambil menyelimuti diriku dengan selimut plaid-flannel ayah, aku fokus menatap televisi plasma 21" yang langsung ayah beli di hari pertama kami pindah ke sini. Semua lampu di rumah kunyalakan hingga terang-benderang, kecuali lantai dua dan kamar mandi.
Begitu selesai makan, aku ingin tahu apakah aku bisa tidur atau tidak. Aku tidak mau ke lantai dua, ke kamarku sendiri. Aku akan berjaga di bawah.
Dan sekarang, aku sudah meringkuk berbungkus selimut, TV menyala dan memasang headset. Saat aku akan menyetel musik keras-keras dari iPod, terdengar ketukan pintu.
Kuakui saking kagetnya, aku sampai terlonjak beberapa mili dari sofa.
Saat aku melihat ke arah pintu, ada bayangan di sana, bergeming, tapi suara ketukan itu terus terdengar. Aku membeku di tempat, dan suara ketukan yang semula halus berubah jadi gedoran. Bayangan tersebut juga mulai mondar-mandir perlahan.
Aku mengeraskan rahang, langsung teringat beberapa scene di film Insidious.
DOK! DOK! DOK!
Saat aku akan memutuskan untuk benar-benar mengabaikan itu, terdengar suara memanggil namaku.
"―Rai!"
Sebenarnya lebih tepat disebut teriak sih. Suara hujan bisa menulikan siapa saja, apalagi malam-malam begini. Mungkin si empunya suara ingin agar orang satu kompleks dengar. Sedangkan yang kulakukan hanya mengerutkan kening.
Pikirmu―siapa?
"Rai! Halo, ada orang di rumah?" bayangan itu masih memanggil.
Daripada nanti tetangga yang mendengar, aku memilih langsung meletakkan headset dan iPod, bergegas ke depan dan membuka kunci. Mendengar suara halus dari kunci membuat bayangan itu berhenti bergerak. Aku menahan nafas, lalu membuka pintu depan perlahan.
Dan terkejut.
Aku bahkan belum sempat bilang apa-apa―seperti jack-robinson, namun satu sosok langsung menerobos masuk. Dia menabrak bahuku dan kami berdua terhuyung, lalu jatuh bersamaan karena kaki yang nggak sengaja saling mengait, atau tali sepatu yang terinjak, apa peduliku.
Aku mengaduh dan dia mendesis. Jelas, kepalaku menabrak rak sepatu dan dia jatuh diatasku, tapi aku bersyukur dia menahan tubuhnya sendiri dengan satu tangan. Sementara aku bertahan dengan kedua sikuku yang mungkin lecet juga.
Aku mengangkat wajah saat merasakan ada air menetes ke pipiku dan mengerjap untuk mengusir kabut, kontan tambah jantungan melihat seraut wajah yang kukenal.
"R-Raven?" aku bahkan terbata-bata entah untuk apa.
Dan Raven, sadar kalau posisi kami begitu canggung, langsung mendorong tubuhnya dan berguling ke samping, ke arah genken dan terlentang di sana. Dia tak menjawab, membiarkanku memulihkan diri dan duduk menatapnya masih dalam kekagetan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
Roman d'amourYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...