SIX

3.4K 462 7
                                    

Sakit kepala menyerangku begitu pagi, sejak aku bangun sekitar setengah enam. Aku memijat sedikit pelipis kananku, yang rasanya berkedut sendiri dan sangat mengganggu penglihatan. Sinar matahari sudah menyelinap masuk melalui dedaunan dan menusuk-nusuk mata. Beringsut, aku bangkit dan dengan enggan bersiap ke sekolah.

Saat menuruni anak tangga, aku teringat kejadian semalam. Dan satu membuat jantungku berdetak lebih keras, adalah pertanyaan apakah ayah sudah pulang―jadi aku memecahkan rekor menuruni tangga dengan cara paling berisik yang pernah ada.

"Raider, kamu lupa aturan tidak berlari di tangga?" terdengar Alga menegurku, dan aku langsung ke arah dapur.

"Aku bukan Nobita," tukasku. "Ayah mana?"

"Rapikan dulu dasimu," Alga menggerutu, langsung mengencangkan dasi dan melicinkan bagian seragamku yang kurasa baik-baik saja, tapi tampaknya di mata Alga yang punya ukuran tersendiri dalam kelicinan pakaian, seragamku ada di tingkat dua dari bawah.

Seperti―astaga, ini bahkan bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu.

"Ayahku?" aku bertanya tak sabaran, melihat binar matanya meredup.

Alga menggeleng, menunduk membenarkan kerah. "Aku minta maaf."

Alga sudah selesai dengan seragamku dan berdiri tegak, tapi aku hanya belum bisa menatapnya mendengar berita yang sebenarnya sudah terprediksi tersebut. Aku menelan sesuatu yang mengganjal di leher dan membuat suaraku tercekat, sebelum akhirnya mendongak dan menatap Alga nanar.

"Jadi begitu," aku memaksakan senyum masam. "Dia benar-benar pergi."

"Dia akan kembali, Rai," Alga mencoba menenangkanku, tapi aku nggak merasa sedang ingin berbaik hati pada siapapun hari ini. Maka aku menepis tangannya yang akan mengusap kepalaku, berbalik pergi sambil menyandang ransel.

Alga tidak menghentikanku.

Senang rasanya dia benar-benar mengerti.


*

*

*


Sisa waktu menjalani masa di sekolah benar-benar menyebalkan. Semuanya terlihat begitu jelek dimataku yang sedang tidak berselera. Bahkan Salsa, saat dia ribut dengan temannya tentang jerawat sebesar bisul atau komedo mengumpul banyak seperti flek, aku mengutuknya dalam hati.

She's just too noisy. Sementara aku benci berisik.

Aku memasuki perpustakaan begitu jam istirahat pertama berlangsung. Bukan apa-apa, tapi hanya ingin menenggelamkan diri bersama buku-buku tua di dalamnya. Setelah menyusuri rak-rak tua besar, aku menemukan buku yang cukup menarik, lalu menariknya keluar dari deretan dan membawanya ke meja baca.

"... hilang. Iya, anak itu bilang sendiri...."

"... dicuri? Hei, dia bukan keturunan bagus...."

Oh Tuhan. Bahkan perpustakaan tidak setenang yang kukira.

"... dijual. ...tersesat ...dia?"

"... yap, pembunuhan."

Cuping telingaku menegak mendengar kata terakhir. Oke. Itu menarik juga. Jauh lebih menarik ketimbang buku ditanganku.

Aku mengendap-endap ke arah datangnya suara di balik sebuah rak. Kuintip dari jajaran buku, tiga anak cewek sedang bersandar pada rak. Dua membelakangiku, satu menghadap ke arahku, membicarakan sesuatu. Gosip.

Alter Ego [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang