TEN

3.1K 404 3
                                    

Dengan perasaan gelisah aku mencoret nama Raven di buku catatan kecil yang belakangan ini kubawa. Sejauh ini buku itu baru berguna. Aku nggak pernah menggunakannya dari beberapa tahun lalu―aku bahkan nggak sengaja menemukannya dalam keadaan berdebu. Sebenarnya buku itu hadiah ulangtahun dari ayah yang ke-6. Itu juga sudah lama sekali, karena kalau dipikir, apa yang bakal dilakukan anak umur enam tahun dengan buku kecil seperti detektif? Nggak ada. Ha!

Oke.

Oke.

Kuakui pikiranku sedang kacau. Aku juga membicarakan hal yang nggak perlu.

Hanya tinggal dua orang yang tersisa sebagai harapanku membongkar masalah ini. Tora sebagai tersangka kedua dan Fina yang terakhir, namun kini Fina menggeser posisi Tora. Jadi, setelah menenggak habis sekotak susu dingin, aku melangkah ke kelas Fina, XA1.

Aku cukup tahu diri untuk tidak sering-sering ke kelas ini, kau tahu? Hanya anak keturunan Einstein yang bisa masuk kelas pertama. Artinya di sekolah ini masih memakai sistem konvensional, yang membagi kelas dengan tingkat kecerdasan semata.

"Kamu mau masuk atau gimana?" seseorang mendorongku dari belakang ketika aku terlalu lama berpikir di depan pintu kelas mereka, membuatku terjungkal ke depan, nyaris jatuh, namun aku menubruk orang lain juga karena berbalik saat masih terdorong ke belakang.

"Hei!" terdengar seruan marah, dan aku harus berbalik lagi hanya untuk mendapat dorongan perlawanan diri.

Aku merapatkan diri ke dinding dan tiba-tiba mendapat perhatian penuh dari seluruh penjuru kelas.

"Oh," aku merasa begitu pias. "Um... "

"Kamu Rai dari XA2 yang nemuin Bleki, kan?" orang yang pertama mendorongku tadi, cowok dengan rambut spike pendek, menatap sinis.

Kalau iya memang kenapa? Ada masalah dengan itu?

Sebenarnya dua kalimat itu yang ingin innerself-ku katakan, tapi aku hanya diam. Cowok itu punya beberapa anggota di belakangnya, sama-sama menatapku lapar seolah aku ini fresh-meat yang bakal mengenyangkan mereka.

"Kamu?"

Aku menoleh, dan melihat Fina selesai membenahi letak kacamatanya yang tadi bergeser. Kurasa ia yang barusan kutabrak dan balik mendorongku. Begitu cepatnya ia menampakkan diri membuatku menghela nafas, lega.

"Aku ada urusan sama anak ini," aku meringis ke arah kelas, langsung mencengkram pergelangan tangan Fina dan menyeretnya keluar, sengaja menabrak si cowok-potongan-spike yang masih berdiri di depan pintu.

Dia terdorong ke belakang dan ditahan temannya, menatapku galak.

"Kamu mau masuk atau gimana?" kataku setengah membentak, membuat beberapa anak cowok di dalam kelas langsung menyuiti karena pembalasan ini dan beberapa anak cewek terkikik.

Fina sendiri hanya merengut dan mengaduh kesakitan di belakangku, tapi aku masih terus menyeretnya sampai kami tiba di belakang kelas.

"Demi Tuhan," dia mendesis begitu aku melepaskan pergelangan tangannya yang mungkin terasa kebas, mendelik padaku di balik kacamatanya. "Apa yang salah dengan otakmu, Rai?"

"Nggak ada," aku menjawab dengan jujur.

"Kamu pasti punya alasan bagus untuk menyeretku kemari dengan cara kasar seperti binatang tadi," dia masih menghujatku dengan sarkasmenya, duh.

"Indeed," aku menginterupsinya sebelum dia terlalu jauh. "Aku hanya ingin kamu menjawab jujur apa yang bakal kutanyakan nanti."

Dia menatap pergelangan tangannya sejenak, lalu beralih padaku dengan gerakan semacam slow-motion, seperti mendeteksi adanya bahaya dan memasang alarm waspada. Ini juga terasa familiar.

Alter Ego [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang