SEVEN

3K 459 5
                                    

"Bad boy, bad boy," sebuah siluet bergumam sambil memejamkan mata, jemarinya menyusuri lekuk tubuh makhluk yang setengah tak sadar di bawahnya. Jemarinya kotor karena tanah dan basah, tapi sebentar lagi hujan, jadi tak masalah.

Ia membuka mata, lalu meraih kepala makhluk yang sudah terkulai lemas di tangan. Menatap dua mata itu, kosong.

"Kau benar-benar nakal, kau tahu?" ia guncangkan kepala itu.

Dan tertawa.


*

*

*


Aku menengadah dan melihat awan sudah menggumpal seperti permen kapas, makin lama makin rapat dan pekat. Angin dingin berhembus kencang, membuat beberapa daun kekuningan yang rapuh jatuh dan mengotori jalanan yang lengang. Kurasakan nafasku terengah. Sudah sekitar satu jam aku mencari ayah di beberapa tempat yang biasa ia kunjungi, bahkan dari informasi orang-orang, tapi hasilnya nihil.

Ayah nggak ada di kantor. Dia juga nggak di kafe, kedai kopi, toko roti, taman kota, bahkan bar, dimana pun. Seolah begitu ayah keluar dari pintu rumah, ia jatuh ditelan bumi. Aku sudah lelah dan mulai tersengal. Berlari ke sana kemari mengundang tatapan orang-orang, dada sesak dan pandangan mengabur.

Aku pasti kelihatan sangat buruk.

"―ish! Dammit!" aku mengumpat saat ketsku tersaruk lubang jalan, membuatku jatuh tersungkur dan terseret merobek seragam, lutut lecet serta kulit mengelupas.

Dan hujan, tentu saja. Lengkap sudah hariku. Terima kasih, Tuhan.

Aku menggigit bibir dan berusaha bangkit berdiri, tertatih ke trotoar, di bawah pohon yang agak rindang untuk menghindari hujan yang makin lama makin deras. Orang-orang berlari di sekelilingku, memayungi kepala mereka dengan apa saja yang tengah mereka bawa. Aku juga berteduh semampunya, masih cukup waras untuk tidak menambah kekacauan dengan sakit flu atau demam esok hari.

Tapi Alga mungkin akan memarahiku karena aku kotor. Dan ayah mungkin akan marah kalau tahu seragamku rusak.

Mungkin.

Aku mulai menggigil karena hujan berangin. Dingin sekali, serasa menusuk tulang dan mencubit-cubit kulitku. Telapak tanganku pucat dan gatal. Aku bersin tiga kali berturut-turut, menyesal kenapa malah memakai jaket katun.

Ketika aku beringsut lebih ke belakang hingga punggungku bergesekan dengan permukaan kasar kulit pohon, jemariku menyentuh sesuatu yang terasa asing, membuatku tersentak dan refleks menarik tangan.

Aku menoleh hanya untuk melihat segumpal bola hitam menggelung di bawah bayangan. Aku nggak yakin itu apa. Seperti sampah, tapi jelas itu bukan kantong kresek biasa. Menengok ke sekitar, aku mencari sebatang ranting atau patahan dahan kecil, lalu menyodok ke arah si bola misterius.

Benda itu bergerak naik-turun seperti orang bernafas, sejenak sebelum akhirnya menjulurkan bagian tubuhnya, begitu panjang ke arahku, membuatku bungkam.

Itu ekor panjang indah yang familiar.

"Blackie!" aku mengangkat alis, kaget. Lihat apa yang kudapat. Aku mencari ayah dan malah bertemu dengan kucing anggun yang hilang itu.

Segera kuangkat dia, dan yang membuatku heran dia tidak menggeliat atau apa. Tubuhnya lemas seperti rasanya sedang mengangkat dough yang kebanyakan air. Bulunya basah dan dingin, tapi aku bisa merasakan hangat darah, serta debaran jantung yang lemah. Kuletakkan dia di pangkuan dan kuperiksa.

Alter Ego [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang