FOURTEEN

2.8K 384 17
                                    

"Dia nggak mungkin menunggu semalaman di sekitar sini tanpa atap, apalagi kamu ingat semalam hujan lumayan lebat," kataku bersikeras.

"Tapi Rai, kamu bakal membahayakan dirimu sendiri," Raven menyangkal lagi, namun tetap saja ia memakai jaket yang kuberikan padanya dengan tergesa. Dia berkata satu kalimat lagi saja pasti membuatku senewen.

"Aku sudah bilang kamu boleh nggak ikut," geramku. "Kenapa malah ribut sendiri sih?"

Raven yang selesai memakai ankle-boots milik ayah hanya menatapku antara datar dan dingin. Kami sedang berselisih tentang sikapku yang dianggapnya ceroboh dan apatis tentang keamanan kami. Aku keras kepala ingin ke sekolah dan melihat tempat kejadiannya, namun Raven menghalangiku karena khawatir.

Tunggu. Raven, khawatir? Salah. Koreksi, dia mungkin hanya tidak ingin aku merepotkan.

Kami bertengkar dan adu mulut mulai sejak mencuci mangkuk dan membereskan meja, sampai sekarang, ketika sedang bersiap-siap keluar. Tuh kan? Buktinya kami tengah bersiap keluar dan dia masih berusaha menolak?

Bahkan dirinya sudah bersiap pula, duh.

"Raven," aku menghela nafas dan memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur emosi dan tidak naik darah. "Kamu bisa tinggal kalau kamu takut."

Dan sesuai dugaan, Raven menatapku defensif. Tangannya mengepal di sebelah kakinya dan ia mengeraskan rahang serta memberiku tatapan tajam.

"Aku nggak takut," ucapnya sedingin es balok.

"Kalau begitu, kamu bakal ikut, mengerti?" aku memutus perselisihan kami dengan berbalik untuk menyambar jaket dan melompat memasukkan kaki ke kets high-cut-ku. Terdengar dengusan tak puas Raven.

Aku hanya menggelengkan kepala, mendorongnya keluar dari rumah dan setelah aku juga menapak keluar, kututup dan kukunci pintu depan. Hari ini aku akan ke sekolah lalu mengantar Raven ke rumahnya, mengingat anak itu tak akan bisa menuntun sepeda dengan kondisi tangan rusak begitu.

Udara pagi, sampai kapanpun, selalu menjadi yang terbaik meski sekarang bukan sekitar subuh lagi. Aku menghirup udara yang lebih segar ketimbang atmosfer sesak dari rumahku tadi, lalu melirik ke arah Raven yang berjalan di sampingku, menyejajarkan langkah.

"Kamu nggak perlu cemas," aku berkata berusaha menenangkannya kembali ketika melihat ia mulai menendang sebuah kerikil seperti menggiring bola sepak. "Kalau kita berdua melawan, setidaknya, bakal dua lawan satu."

"Tapi aku terluka," gerutu Raven.

Aku memutar bola mata, menyodok pinggangnya dengan siku. "Hei, kamu pikir aku ini cewek lemah yang perlu superhero apa?"

Dan dia menatapku, menjawab 'Ya' bahkan tanpa berpikir dua kali, membuatku gemas ingin melumat otaknya.

"Raven," geramku. "Kamu diam sajalah."

Dan kami berdua sama-sama berjalan sambil memasukkan kedua tangan dalam saku jaket, menunduk, menghela nafas seperti orang penyakitan dan penuh beban hidup selama perjalanan ke sekolah.

Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di pekarangan sekolah. Aku dan Raven berjalan ke arah parkiran sepeda dan benar, aku melihat sepedanya tersampir di tiang penyangga parkir yang putih bersih, dengan ban kempes penuh percikan lumpur.

Aku mengerutkan kening.

"Kamu jadi membawa itu sekarang?" suara Raven menyadarkanku dan aku sudah melihatnya berada di sisi sepeda, tengah membuka kunci rantai berkode. Dia menatapku ingin meminta jawaban, jadi aku mengangkat bahu.

"Aku ingin masuk ke sekolah," jawabku, membuat matanya membesar lagi.

"Rai," panggilnya mengingatkan dengan nada yang seolah barusan aku bilang aku ingin masuk neraka.

Alter Ego [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang