Sekelebat bayangan hitam memasuki sebuah kamar yang gelap gulita, tidak tertarik mengulurkan tangan untuk menekan sakelar lampu yang sudah lama tak ia sentuh. Bukan karena lampunya tak berfungsi atau apa, tapi sosok tersebut memang benci terang dan cinta kegelapan. Cukup membuka jendela, tirai atau pintu kamar, maka segalanya akan sedikit lebih jelas.
Malam ini adalah favoritnya. Bulan purnama menggantung di sana, jauh di angkasa, namun cahaya itu cukup bagi dirinya untuk dinikmati sendirian.
"Halo semuanya," dia melambaikan tangan pada banyak siluet lain yang ada di kamarnya, yang dari sejak ia masuk tak bereaksi apa-apa.
Dia tahu itu. Ia sadar mereka―makhluk yang ada di kamarnya selama sekian tahun―tak akan pernah bisa menjawab. Dia sudah mengancam akan menjahit mulut mereka dengan benang jika mereka berisik. Tak heran.
Sosok itu melepas blazer warna navy yang di bagian dada penuh dengan aksesori pin kecil mengelilingi logo sebuah sekolah dan memakaikannya dengan hati-hati pada salah satu sosok yang ia panggil Clarissa. Disibaknya sedikit rambut ikal pirang Clarissa ke belakang bahu, menatap matanya yang biru jernih dan tersenyum, lalu berpaling.
Kemudian ia gantungkan dasi bergaris dengan warna sama pada figur lain, Dave Jones. Dia setara dengan Dave Jones, namun tetap saja tak ada yang berkuasa selain dirinya. Jadi setelah mengalungkan dasi pada leher Dave Jones, ia langsung menarik simpul dan mengeratkannya, membuat cekikan sesaat.
Sebagai sentuhan terakhir, ia tersenyum kecil pada Fiona, adik Clarissa, lalu menepuk kepalanya lembut. Sosok itu tahu Fiona menyayangi Dave Jones, jadi tiap kali ia selesai mempermainkan Dave Jones, ia akan menenangkan Fiona.
Dia sama sekali tak keberatan.
Fiona bergoyang limbung sebagai balasan. Sosok tersebut lupa kakinya sudah diamputasi beberapa tahun lalu, akibat kesalahannya melukai betis Fiona dengan belati karatan hanya untuk mengetes ketajaman. Dia mematung sebentar, hanya untuk merasakan tatapan tajam Clarissa padanya karena telah mengganggu sang adik.
"Kalian semua, dengar," dirinya berkata seperti memberi pengumuman pada siluet-siluet tersebut, yang jumlahnya sekitar tiga belasan. "Hari ini aku nggak bakal nyiksa kalian, off, liburan. Kalian bebas."
Deklarasi pembebasan derita sebenarnya terdengar indah bagi siapa pun, kecuali sosok itu. Sudah seharusnya ia mendengar sorak-sorai karena ia sedang berbaik hati hari ini, tapi yang menusuk telinganya hanya bisu.
Sosok tersebut mendengus kesal.
"Kalian kasta rendah nggak bermoral," geramnya, lalu mengumpat. "Paling nggak bilang terima kasih lah udah dikasih istirahat semalam. Dasar brengsek."
Lalu ia memejamkan mata.
Yah. Semakin berkonsentrasi, dia bisa mendengar bisikan-bisikan halus. Mungkin tiga belas dari mereka terlalu takut berterus terang padanya. Tak apa, dia mengerti.
"Baiklah," ia membuka kelopak matanya, melepas kacamata dan tersenyum. "Kalian bisa tidur sekarang."
Tiga belas pasang mata menatapnya berterimakasih.
*
*
*
"How's school, Son?" ayah meyambutku dengan seringaian yang seharusnya sudah tidak boleh dilakukan oleh seorang single parent kepala tiga. Aku menatapnya sebisa mungkin yang dapat memberinya beberapa petunjuk kalau aku merasa 'cukup' dengan tempat itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/46068776-288-k938787.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...