NINE

3.1K 430 12
                                    

Pagi itu aku bangun dan bangkit dari tempat tidur dengan perasaan yang jauh lebih ringan, seperti ketika seseorang membuang beban di bahumu yang telah menggelanyut selama beberapa lama. Terlebih saat aku keluar dari kamar mandi dan berseragam, aroma masakan yang khas membuatku tergesa dan menyambar ransel, lalu berlari ke bawah melompati anak-anak tangga.

Aku nggak melihat ayah di meja makan namun dia meninggalkan jejak bahwa dirinya benar-benar ada di rumah dengan secangkir kopi yang mengepul dan koran pagi yang masih tergulung. Ada asap membumbung dari arah dapur, jadi aku bergegas ke sana.

"Alga?" aku menengok untuk mengintip di balik asap, menyapa, tapi wanita itu masih tidak ada.

Aku hanya melihat ayah sibuk berkutat, mencoba melepas apron dengan tangan kiri sementara tangan kanannya masih menggenggam tangkai teflon berisi telur orak-arik.

Tunggu. Ayahku memasak? Dan dia berhasil?

Aku menepuk pipi (ow, sakit!) dan kelihatannya aku menyiksa diri terlalu keras karena ayah sampai menoleh.

"Hai, Rai! Pagi!" sapanya ceria, khas anak lima tahunan. "Sarapan kita hari ini sandwich daging asap telur keju, kamu suka?"

"Mana Alga?" aku malah bertanya, masih dengan posisi menjulurkan leher, menolak masuk ke dapur yang hangus dan berantakan.

"Could you please help me first with this thing?" ayah mengabaikanku dan menarik-narik tali apron yang terikat dengan simpul mati di balik punggungnya. Dia nggak bisa kelihatan lebih konyol lagi, jadi kurasa aku boleh membantunya sekarang.

"Aku nggak percaya ayah bisa masak, bahkan telurnya nggak hangus," gumamku sambil membantunya melepas tali. "Dan ayah belum membakar rumah ini. Whoa."

"Aku juga tidak percaya, haha," ayah tertawa marah. "Biar kuselesaikan ini sebentar lagi, kamu tunggu di meja oke?"

"Ayah belum menjawab pertanyaanku," aku melepaskan apron dari lehernya, lalu menggantungkan celemek itu di gantungan untuk serbet.

"Kita bicarakan setelah ini, Rai," ayah menjawab, memunggungiku.

Dia kelihatan masih bermasalah. Akhirnya aku hanya mengangkat bahu dan berjalan terseret ke meja makan. Kursi di meja masih tersedia untuk empat orang. Aku berharap ayah kapok dan nggak akan pernah untuk selamanya―at least saat aku masih hidup di muka bumi―mengajak satupun kolega wanita di kantor makan malam lagi.

Atau kalau itu sampai terjadi, mungkin giliranku angkat kaki.

Nggak sampai semenit ayah sudah keluar dari dapur. Dia membawa dua piring berisi dua besar sandwich, ukuran double (dua lapis). Isinya bermacam-macam; daging asap, selada, telur, tomat, timun, bombay, saus tomat, sambal, lada, dan keju. Dia pasti membawa belanjaan kemarin, karena terakhir kali aku memeriksa, refrigerator hanya berisi karton mi cina dingin.

Aku berdiri dan mengambil sekotak susu dari lemari es untukku dan dua buah pir untuk kami. Aku dan ayah menyantap sarapan dalam diam.

"Y'kno," di tengah kunyahannya yang keempat, ayah mendesah dramatis dan berkomentar, "aku nggak pernah tahu sarapan buatan sendiri terasa sangat lezat."

"Mengharukan," aku mengejeknya. "Kurasa ayah masih kurang garam pada telurnya. Dan terlalu pedas. Ayah lupa lambung ayah sudah lemah?"

Ayah tersenyum penuh arti dan menatapku dalam. Aku jadi begitu risih sampai nggak bisa membalas tatapannya dengan tatapan datar-tak-peduli andalanku, dan bahkan harus menatap sandwich di tangan, pura-pura cuek seperti biasa.

"Kamu begitu mengerti ayah," terdengar suara ayah dengan nada yang baru kali ini kudengar. "Thanks a lot, Rai."

Aku mengangkat kepala, melihatnya masih menatapku.

Alter Ego [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang