Sosok itu terengah. Dia membasahi bibirnya saat melihat aliran pekat merah turun dari telapak tangan, menetes satu-satu meninggalkan jejak di ubin lantai kamar yang kontras dengan warna darah.
"Sakit," dia bergumam pelan, kemudian melirik ke arah tiga belas sosok di kanan-kiri tempat tidurnya. Mereka semua tengah memperhatikan.
Lalu tatapannya jatuh pada mata Fiona.
"Halo, Manis," ia bangun dan agak sempoyongan berjalan ke arah Fiona, menarik anak kecil itu bangkit dan mengotori tangannya dengan cairan pekat yang sama. "Sekarang giliranmu sakit."
Fiona hanya menatap ngeri.
*
*
*
"I'm home," seruku sambil menutup pintu di belakang punggung, menghela nafas lelah. Bagaimanapun berjalan kaki dari sekolah ke rumah nggak bisa dibilang dekat. Itu belum dihitung aku melewati koridor panjang sekolah, halaman depan yang luas, juga tempat parkir sebelum akhirnya sampai di gerbang.
Aku harus meminta ayah cepat-cepat membelikanku sepeda baru setelah ini.
"Welcome home, Rai," sapa Alga balik, dia menjulurkan kepalanya saja dari dapur, lalu kembali sibuk.
"Kenapa belum pulang?" tanyaku agak keras, meletakkan sepatu di rak.
"Aku hampir selesai, jangan khawatir," seru Alga balik. "Tuan bilang dia akan mengajak teman sekantornya makan malam denganmu, jadi aku harus menyiapkan lebih banyak."
Teman sekantor? Tumben. Menjadi betapa anti-sosialnya ayah, dia bahkan nggak pernah mengenalkan satupun koleganya padaku selama tujuh tahun bekerja di L.A. Sekarang, baru beberapa minggu, dia bahkan berani mengajak makan malam?
Aku melonggarkan dasi dan hendak melenggang pergi, sebelum tiba-tiba sesuatu membuatku tersentak, lalu mengubah haluan dari arah tangga ke lantai dua, menuju dapur dan tergesa menghampiri Alga.
"Ada apa?" tanya Alga tanpa menatap bahkan sebelum aku berjarak tiga langkah darinya.
"Apa ayah bilang temannya nanti pria atau wanita?" tanyaku, sedikit berdegup.
Dan entah kenapa sepertinya Alga juga tertegun, lalu berhenti memasak.
Kami berpandangan selama beberapa detik, namun dikejutkan oleh suara mendesis dari masakan Alga dan pintu depan yang menderit terbuka.
"Me home~!" terdengar seruan riang khas ayah, dan aku segera berhambur keluar untuk melihatnya, sementara Alga mematikan kompor gas dan segera menyajikan masakan di piring.
Goodness. Aku bahkan nggak sadar kalau meja makan sudah dihias dengan taplak putih dan beberapa lilin saat melewatinya. Ini bukannya semacam candle-light dinner kan?
"Hai Rai!" ayah menonjok bahuku seolah kami bukan ayah-anak, tapi teman sepermainan. Dia lalu menyingkir sedikit, dan membawa seseorang dari belakang punggungnya.
Aku tercekat. Jenis tercekat yang bisa membunuh sehingga arwahku gentayangan nggak tenang.
"Kenalkan, ini Ms. Rhiannon Deucalion, teman sekantor ayah," ayah berkata dengan nada asing di telingaku, menuntun seorang wanita muda.
"Hello, Raider," wanita tersebut, Ms. Deucalion, tersenyum ramah padaku. "It's very nice to meet you."
Ms. Deucalion seperti kebanyakan wanita karier lainnya. Dia bule, memakai blus dan blazer, high heels, berkacamata, rambut disanggul, beraroma wangi menyengat dan menenteng tas kantor kecil. Bedanya, dia begitu modern dan trendi. Dia terlihat terlalu glamour untuk wanita yang seharusnya seharian bekerja di kantor, kalau kau paham maksudku. Berdiri berdampingan dengan ayah hanya memberi kesan bahwa Ms. Deucalion itu 'tante-tante', padahal aku yakin dia jauh lebih muda ketimbang Alga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...