Ketika aku membuka mata, hal yang paling pertama melintas di otakku adalah kenapa aku bisa bangun di rumah sakit. Kemudian saat mencoba mengingat, sisi kiri kepalaku berdenyut nyeri sehingga aku menyerah dan hanya menatap kosong ke arah langit-langit putih selama dua menit. Anggota tubuhku yang lain juga sakit, jadi kupikir, diam saja sesekali nggak ada salahnya.
Sampai sesosok bayangan dengan rambut familiar datang dan membuatku membesarkan mata, jantungan.
"Raven!" seruku tertahan.
Aku tidak tahu pasti dia Raven yang mana, tapi setelah tiga detik menatap matanya, aku sadar dia sosok yang harusnya kuhindari. Rasa takut menguasaiku sekali lagi dan aku menoleh ke belakang, mencari di mana tombol untuk memanggil suster berada dan ketemu.
Belum ada tanganku terulur sepenuhnya untuk memencet itu, jemari ramping pucat dan dingin mencengkram pergelangan tanganku, lalu menyentakkannya.
"Jangan macam-macam," suara tanpa nada Raven begitu dekat dengan telingaku, membuat bulu-bulu halus di leher dan lenganku merinding. "Aku hanya ingin bicara."
Yeah, bicara. Terakhir kali kami bicara, dia menyuruhku menjauh atau mati. Apa lagi kali ini?
"Kamu bercanda kan," aku kaget sendiri ketika sadar suaraku normal dan malah terdengar bosan. "Nggak ada yang aku tahu kecuali fakta kamu sakit jiwa dan perlu diasingkan."
Cengkraman Raven mengeras dan aku meringis, mengangkat kepala untuk membentaknya, tapi nggak jadi. Tatapan anak itu kosong, tapi entah kenapa aku bisa melihat ada cerita lain tentangnya yang perlu aku tahu. Kami bersitatap dan dia mengerjap sadar melihat aku kesakitan, lalu mengendurkan cengkramannya lagi.
"Aku sakit jiwa dan sudah diasingkan," gumamnya begitu pelan. "Setelah apa yang kulakukan kemarin, mungkin setelah ini aku bakal di hidup di penjara untuk 10 tahun ke depan kalau lagi sial."
Aku mengangkat alis, mau nggak mau terkejut.
"Apa... apa kamu membunuh seseorang? Raven yang lain?" tanyaku lambat.
Dia tersenyum tipis, membuatku sedikit menggigil. "Nyaris. Kalau Fina nggak datang dan menelpon pemadam kebakaran, kita bertiga mati."
Ah, jadi Ravendi satunya masih hidup... oke, tunggu.
"... apa memang kalian juga punya satu nama? Maksudku―Raven nama yang bagus, tapi membingungkan mau manggil kalian apa kadang-kadang," aku mengangkat bahu.
"Aku Rav. Kakakku Raven."
"... oke, sangat membantu, terima kasih," aku memutar bola mata.
"Dia memakai nama alias dulu ketika SMP, Rafael Efendi. Cukup?"
"Rafael," aku mengulang, mencobanya, lalu mendengus ke samping. "Aku masih lebih suka Raven."
Raven tersenyum sedetik, lalu diam lagi. Tatapannya terarah ke tangan kami, dan aku ikutan menunduk. Entah berapa lama kami terdiam, namun ketika mendadak Raven melepaskan cengkramannya dan ganti menggenggam tanganku, jemariku, aku menahan nafas.
"Aku minta maaf," dia bergumam. "All thanks to Fina karena cewek itu mengerikan sekali kalau sudah murka. Dan kakak juga merecokiku tentang hukum dan blahblahblah. Dia bilang setelah ini aku bakal ke rehab, dan kantor polisi, dimanapun, selain sekolah dan rumah."
Apa dia punya kepribadian ganda? Terakhir aku mengingat Raven dengan orbs sehitam malam nggak pernah banyak bicara dan bahkan, wow, meminta maaf? Apa kepalanya terbentur sesuatu dan gegar otak? Bahkan Fina dan Raven orbs cokelat―atau Rafael, terserah, gah―berhasil menceramahinya, Tuhan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomansaYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...