"Kamu nggak cerita-cerita kalau kamu yang nemuin Bleki," Tora tiba-tiba menodongku dengan kalimat itu saat aku duduk-duduk di kantin beberapa hari setelah kematian Blackie, membuatku tersedak es teh yang telah kupesan beberapa menit lalu.
"Karena itu nggak ada urusannya denganmu," aku menatapnya galak dengan mata sedikit berair karena kerongkonganku perih. Terlebih, dia nggak bisa lebih keras lagi? "Dan kamu sadar suaramu bisa didengar seluruh kantin?"
"Santai bro," Tora terkekeh dan mengambil kursi kosong di hadapanku. "Jadi, bisa ceritakan padaku bagaimana?"
"... apanya?"
"Bagaimana Bleki mati, tentu saja," Tora menatapku dengan tatapan yang biasa ditujukan untuk orang idiot―aku cukup cerdas untuk tahu hal itu, tenang saja. Aku sudah lumayan sering menggunakannya pada ayah, dulu.
Ngomong-ngomong tentang ayah. Pria kekanakan itu belum pulang, begitu juga Alga, sehingga aku dengan terpaksa mengonsumsi makanan serba instan selama nyaris seminggu. Aku nggak akan peduli dia pergi berapa lama, tapi setidaknya biarkan Alga memasak untukku.
"Kenapa kamu pikir aku tahu bagaimana dia mati, Tora Sudirjo?" aku menatap anak itu tajam, kali ini bisa berbangga sedikit karena tahu nama lengkapnya. "Aku nggak tahu apa-apa, isn't that clear enough?"
"Man, c'mon," Tora tetap memaksa. "Gimana kondisinya terakhir kali? Mulut berbusa? Kejang-kejang? Mata merah yang berputar-putar?" dia memberondong dengan pertanyaan aneh.
"Tora," aku menangkup dua pipinya dengan dua tangan, menekannya sedemikian rupa hingga dia meringis kesakitan dengan bibir super manyun. "Dia kucing yang mati, bukan remaja stres sakaw overdosis. Kamu paham bedanya?"
Dia nggak bisa menjawab dengan mulut, jadi tangannya mencakar-cakar lenganku yang terbalut aman dalam jaket. Aku melepaskannya, memberi deathglare pada beberapa anak yang lancang ingin tahu, lalu berdiri.
Aku heran kenapa ada banyak orang yang begitu sok misterius di sekolah ini.
Pertama adalah Raven. Dia sudah mencurigakan dari awal masuk sekolah. Sulit didekati dan ditebak apa isi pikirannya―maksudku, apakah dia tipe anak yang memikirkan masalah dunia? Atau sejarah manusia purba? Atau malah sama sekali nggak bergairah untuk hidup?
Kedua, Tora. Dia anak yang cerdas tapi mengerikan. Kelihatannya suka dengan hal-hal berbau sadis dan menyangkut binatang sebagai kelinci percobaan―well, aku nggak bisa mengambil resiko membayangkan dia memakai manusia sungguhan untuk sebuah eksprimen kan?
Terakhir adalah Fina. Dia nggak mau menjawab pertanyaanku dan kelihatannya tahu sesuatu di balik kasus Blackie yang mati dengan penuh keganjilan. Masalahnya dia nggak bisa diajak kerjasama dan cenderung balik menyerang jika aku menyudutkannya.
Tiga anak itu sudah cukup memenuhi otakku, dan aku nggak sanggup kalau harus memikirkan lebih banyak anak yang pantas dicurigai. Dan aku belum memikirkan ayah. Dan Alga. Dan jadi apa aku nanti jika genap seminggu terus makan mi instan.
*
*
*
Ketika matahari sudah hampir tenggelam tertutup gedung sekolah di sebelah barat, aku baru keluar dari kelas dan melewati lapangan parkir untuk pulang ke rumah. Cuaca nggak begitu bersahabat akhir-akhir ini. Aku merapatkan jaket dan mengeratkan topi yang kupakai.
Sepanjang perjalanan ke rumah aku hanya menatap trotoar kelabu. Jalanan agak sepi, dan itu bagus, karena telingaku jadi lebih ringan tanpa kebisingan mesin-mesin beroda yang biasanya lalu-lalang dengan ganas di atas aspal. Aku mendesah tepat saat rintik hujan mulai turun ke permukaan bumi.
"Hish," dengusku kesal. Kupakai tudung jaket dan berlari kecil untuk sampai ke rumah lebih cepat.
"Aku pulang," kataku begitu melangkah masuk ke 'beranda' rumah dan menutup pintu di belakang. Cepat kulepas sepatu saat merasakan air sudah merembes ingin membasahi kaos kaki, lalu kusadari sesuatu yang janggal.
Rumah ini masih hening, masih sesunyi ketika hanya ada aku sebagai penghuni tunggal, tapi entah kenapa lebih hangat. Atmosfer di dalam sini berubah cukup banyak sehingga bisa kurasa perbedaannya.
Sesuatu mengganjal di leherku dan aku menelan.
"Alga?" panggilku, segera ke dapur bahkan tanpa meletakkan tas di kursi meja makan. Namun harapanku lenyap saat melihat dapur masih kosong, bersih tak tersentuh. Hanya ada tumpukan piring kotor bekasku dari beberapa hari lalu. Mungkin jika terus kubiarkan akan muncul makhluk hidup baru dari sana.
Baiklah, baiklah. Jadi bukan Alga.
Saat jantungku berdegup lebih kencang gara-gara harapan lain, aku bahkan lupa kapan memutar badan dan melangkah lebar-lebar ke arah kamar ayah, terlalu tak acuh untuk mengetuknya, segera berhambur masuk.
Rasanya seseorang sudah menyiramkan air hangat ke hatiku. Bayangkan saja kau menyiram sebalok es dengan air yang baru diangkat dari perapian. Itu seperti campuran hangat dan basah.
Mataku mengabur melihat sosok ayah, yang dengan tanpa dosa berbaring telentang di tempat tidur ukuran queen miliknya, masih lengkap dengan seragam kantor yang terakhir kali dia kenakan saat makan malam terkutuk itu―terlihat berantakan total tapi nyaman. Bahkan kaos kaki dan pantofel masih melekat di kakinya.
Dia bergerak, memiringkan tubuh dan tangannya terjulur dengan jemari yang bergerak seakan ingin menggapai sesuatu.
Aku berlutut di samping tempat tidur dan menggenggam tangannya dengan rasa halus yang kukenal dan dingin menyengat. Apa yang kulakukan membuat dia tersadar dan membuka matanya, lalu pandangan kami beradu.
Dia bisa-bisanya menatapku dengan mata bening begitu.
"Useless," aku mengatainya setelah menyadari seperempat menit berlalu dan harus ada yang memulai percakapan. "How dare you coming back here."
Ayah hanya mengerjap sekali.
"Why?" aku masih memaksa bersuara meski nafasku sudah tercekat.
Dia menatapku, lalu menatap tangan kami dan tersenyum. Ayah menutup mata sejenak sambil menjawab dengan percaya dirinya yang kelewatan.
"You've been missing me so badly, that's why."
Aku nggak bisa berbuat apa-apa karena pertahananku hancur.
Lihat, Dunia. Dia ayah yang menelantarkanku dan bersikap kekanakan nyaris sepanjang aku hidup dan setelah meninggalkanku tanpa kabar atau bahkan makanan hampir seminggu, dia berani pulang dengan alasan kalau aku begitu merindukannya.
Dan yang membuatku paling benci padanya adalah karena dia selalu benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...