"Aku tidak melakukan apapun," sebuah sosok hitam berkata pada orang di depannya. "Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa, percayalah."
"Kamu nggak bisa berhenti bicara pada benda itu?" sosok yang lain berteriak padanya dengan keras dan nada murka, suaranya bergaung menakutkan diantara mereka berdua.
"Dia Clarissa dan dia spesial, tidak sepertimu yang tidak mengerti apa-apa!" sosok pertama balas berteriak.
"Oh, another nonsense, great," sosok kedua mendengus sinis. "Kamu sudah memenggal kepalanya beberapa jam lalu, sadar nggak?!"
"Dia tidak akan mati," gumam bayangan tersebut, memeluk tubuh Clarissa yang kaku dan dingin.
"Raven! Kubilang berhenti!" sosok kedua berteriak murka, lalu menerjang ke arah bayangan pertama. Ia merebut lengan Clarissa dengan kasar, nyaris mematahkannya dengan bunyi 'krak'. Dua siluet itu akhirnya berakhir dengan saling bergulat, membuat ruangan tambah berantakan dan penuh suara menakutkan.
*
*
*
Aku mendengar sesuatu yang berisik dan begitu mengganggu. Terpaksa, kucoba menghalau rasa berat di mata dan mengernyit, mengintip sedikit cahaya dari ruangan.
Rasa sakit mendera kepalaku dan rasanya seakan ingin pecah. Aku meraba ke sekitar, lalu begitu sadar bukan ada di tempat tidur membuat mataku benar-benar terbuka lebar.
Aku tidak di atas tempat tidur. Aku juga tak berada di rumahku sendiri.
Suara berisik terus-menerus datang dan bertambah gaduh. Aku melihat ke langit-langit yang bermural, lalu tersadar di tempat apa aku ini.
Ini rumah Raven.
Aku meringis ketika memaksa bangkit dan menurunkan kakiku dari atas sofa yang terlampau empuk, sehingga ketika kau duduk kau serasa tenggelam ditelan oleh busa. Telingaku berdenging terus-menerus dan leherku kaku. Dengan sendi seperti engsel karatan, gerakanku begitu jelek dan tak teratur, tertatih menuju sumber suara.
Ada sebuah ruangan dengan pintu berwarna hitam, tepat di depan pintu cokelat kamar Raven. Di ruangan itulah suara berisik tersebut berasal. Ketika aku mempertajam pendengaran dan memfokuskannya, aku tersadar entah siapapun yang ada di dalam sana, benar-benar sedang berkelahi. Itu suara yang sama persis, tapi... ada dua? Apa Raven jadi gila dan sedang bermonolog?
Aku memutar kenop pintu dan mengintip masuk.
"Berhenti melawanku!"
"Kamu yang berhenti!"
"Kamu menyerangku lebih dulu!"
"Kamu bikin aku sakit!"
"Menyingkir!"
Teriakan semerawut, kadang dalam bahasa asing dan kata-kata kasar yang perlu disensor langsung memenuhi rongga telingaku.
"Raven?" seruku dengan suara serak, ingin maju, namun ruangan itu luar biasa gelap gulita. Cahaya remang-remang dari koridor tak banyak membantu, juga jendela kamar yang sepertinya tertutup rapat oleh tirai. "Raven, kamu dimana?"
Teriakan-teriakan itu langsung lenyap, namun suara gaduh gedebak-gedebuk tetap bergaung. Sesuatu mendorong pintu tertutup dan kenopnya lepas dari tanganku. Aku yang tak terbiasa terselubung kegelapan langsung panik tingkat tinggi.
"Raven!" aku yakin aku bahkan memekik. "Raven!"
"Jangan bergerak Rai!" suara yang kukenal berseru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...