"Kamu mengacau," erang bayangan itu, menyentuh lengan Clarissa dengan jemarinya yang pucat dan kurus dengan kehati-hatian ekstra karena tahu yang disentuh telah merapuh. "Kenapa membawa Rai kemari?"
"Katakan itu untuk dirimu sendiri," tukas Raven dingin. "Aku bahkan nggak tahu kamu pernah bertemu dengannya," ia lanjutkan dengan nada sebal yang sama, namun berujung dengan hembusan nafas tertahan, frustasi. "Rav, kamu tahu apa yang telah kamu lakukan?"
Rav terdiam, benar-benar tak menimbulkan suara meski buku-buku jarinya memutih karena mencengkram lengan Clarissa saking marahnya. Ia menatap nanar sang kakak yang tengah membaringkan tubuh temannya di atas tempat tidur besar―tempatnya. Padahal ini kamarnya, dia juga tak suka orang asing, terlebih macam Rai yang selalu ingin tahu seperti itu.
"Dia gangguan," Rav bergumam tak sadar suaranya mengandung racun pahit, juga kecemburuan. "Karena selalu mendapat perhatianmu."
Ia melihat saudaranya mengeraskan rahang. Sedikit sekali di hati Rav timbul rasa senang karena ucapannya berpengaruh.
"Andai kamu nggak pernah macam-macam, aku juga nggak akan perlu berurusan dengan anak ini. Sekarang dia tahu tentang kita dan aku masih belum punya rencana akan kita apakan dia." Bahkan Raven mengucapkan kalimat sepanjang itu untuknya.
Penggunaan kata 'kita' menjelaskan banyak hal bagi Rav, setidaknya cukup membuat ia merasa dilibatkan dalam urusan tersebut.
"Bunuh," Rav menjawab enteng dengan seringaian cuek.
"Dan kamu bakal mendekam di penjara," Raven menghela nafas teramat lelah, dia menggigit ujung selimut, merobek dan menjadikannya semacam perban untuk membalut luka Rai. "Lagipula, mana Fina? Dia belum kembali?"
"Dia akan menginap di rumah temannya lagi jika tahu apa yang kita perbuat," Raven mengerutkan kening mendengar Rav menyatakan 'kita' di kalimatnya, namun kembarannya mengangkat bahu lagi, lalu mencoba bangkit. "Kamu urus saja dia. Aku mau pergi."
Kini alis Raven terangkat sempurna. "Apa? Ke mana?" dengan nada 'you-must-be-kidding'.
"Halaman belakang. Akan kukubur semuanya," Rav menarik lengan Clarissa, lalu Fiona, Dave Jone, dan boneka lainnya. Terakhir yang ditariknya adalah Hook, yang sudah menakuti Rai dengan wajah bengis dan luka melintang di pipi. "Menghilangkan bukti, kamu tahu? Bilang saja pada Rai dia mengigau karena demam. Anak itu sedikit panas saat kusentuh."
"Ya, sentuh," ulang Raven sarkastik. "Dengan pisau lipat bodohmu itu."
Rav memutar mata tak peduli, menggotong boneka-bonekanya, tak menunggu komentar apapun lagi. Para boneka mulai terkumpul di sekitarnya. Sosok Clarissa dan dua belas yang lain hanya marionet dari manekin seukuran tubuh yang sudah lama Rav simpan. Ia menggantungkan tali-tali boneka itu di langit-langit kamar yang penuh dengan pengait. Ia sendiri yang merancang seperti itu. Orangtuanya tak akan tahu, tak akan pernah, karena mereka terlalu sibuk untuk peduli dengan tiga anak mereka.
"Rav, kamu tahu, Rai mungkin akan bertanya tentang semua ini dan dia nggak sebodoh itu untuk dikelabui," Raven duduk di tepi tempat tidur dan mengeraskan rahang. "Aku nggak mau susah payah menjelaskan padanya. Kamu yang harus bercerita."
"Baik. Tinggalkan saja dia di kamarku dan kamu mungkin nggak akan pernah melihatnya keluar."
"Kamu gila? Polisi akan mencarinya dan kamu bakal dipenjara."
"Kalau begitu kamu yang urus dia!" lengking Rav marah, mendelik pada kakaknya. "Aku benci anak itu! Kenapa kau harus memikirkannya?! Kenapa tidak padaku?! Bahkan Fina menghindariku!"
"... karena kamu aneh."
"Karena kalian yang menganggapku begitu!" seru Rav lagi, kali ini dengan kasar menarik benang-benang para marionet dan melilitkan semuanya di tangan kiri, tak peduli kulitnya akan lecet atau berdarah karena beban yang ia tarik berkali-kali lipat dari massa tubuhnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomanceYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...