: : few months later : :
RAI
Benar-benar membosankan. Aku menguap untuk kesekian kalinya pagi itu, entah kenapa kehilangan interest untuk mengeksplor sekolah lebih jauh. Sejak insiden Raven, tempat ini berkurang keseruannya.
Dan melihat Rafael―kakak Raven, si orbs cokelat―jadian dengan Salsa.
I know, I know. First time I heard it I was like, yo, dude, what the fuck, like you couldn't get someone better than that buuut that's not my love life so I don't give pretty much shit about it.
Dan Fina, sesuai dugaan, dengan Tora.
Mereka berempat pasangan terabsurd yang pernah ada, kalau kau tanya.
"Rai! Yakin nggak mau ikut ke kantin?"
Aku membuka kelopak mata, melihat sosok Salsa setengah membungkuk di depan mejaku. Karena posisiku sekarang tiduran dengan kedua tangan ke depan dan dagu menempel di permukaan meja, bakal sulit banget membuat suara. Jadi aku hanya mengibaskan tangan dua kali dan memejamkan mata lagi.
"Kamu nggak mau titip apa, gitu?" Tora bertanya kali ini. Benar. Rafael dan Fina memilih untuk nggak banyak berkomunikasi denganku, entah kenapa. Aku nggak keberatan juga. Lebih sedikit suara lebih baik.
"Pocky," jawabku malas.
"Kantin nggak jual itu, Rai," Salsa terdengar kesal.
Aku hanya bergumam, kemudian mendengar decakan Salsa dan tawa Tora. Mereka berdua pergi setelah masing-masing menggaet tangan pasangannya.
Aku mendengus sendiri. Bahkan di rumah, ayah punya Alga. Benar, mereka berdua sudah menikah dan hidup bahagia. Ayah berencana ke benua Eropa sampai tahun depan untuk bulan madu, tapi Alga mencemaskanku―jadi mereka hanya pergi dua bulan keliling Asia saja dan Aussie, sebelum kembali lagi tanggal... tunggu, tanggal berapa sekarang?
Masa bodoh.
Aku menoleh ke samping untuk menguap, lalu membuka mata dan melihat langit di luar jendela.
Mendung. Aku harap malam nanti nggak terlalu dingin, andaikan hujan turun.
*
*
*
"Bagaimana keadaanmu?"
"Fine."
"Rumah?"
"Hmm, fine."
"Sekolah?"
"Fiiine."
"Seriously Rai, kamu nggak ada jawaban lain? Aku bosan mendengarnya."
"... fine."
"Rai!"
Aku menutup muka, mengerang, menatap malas layar laptop di meja ruang tamu. Dengan tubuh terbungkus selimut dan secangkir mug yang sudah kosong bekas Milo hangat setengah jam lalu, ayah memintaku menyalakan laptop dan koneksi internet suapaya kami bisa bicara di Skype. Sekarang disinilah aku, duduk meringkuk di atas karpet dan menyender ke bantalan sofa di belakang, direcoki ayah tentang hidup sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [in ed.]
RomantikYang aku tahu dari dirinya hanyalah sebuah nama: Ravendi. Orang memanggilnya Raven. Okay then, what's so interesting about him anyway. Karena dari awal pandangan matanya bisa membuat orang bergidik. And if a stare could kill, aku yakin sudah mengge...