24

9.5K 688 17
                                    

HARRY's POV

"Kalian berdua tidak habis uhm--" Mom menggantung pembicaraannya seraya melihat kami berdua secara bergantian. Bisa kurasakan tangan Abby yang menggenggam tanganku erat. Ya sepertinya wanita ini sangat takut jika mom tau apa yang telah kami berdua lakukan beberapa menit yang lalu. "Kalian tidak bertengkar uhm seperti saling menarik rambut masing-masing atau saling memukul? Kalian sangat berantakan."

"Ough mom!" Bantah ku malas. Mom memang selalu berfikiran aneh tentang aku dan Abby. Dia selalu menganggap kami berdua bocah kecil yang selalu bertengkar untuk memperebutkan sebungkus permen.

Mom tertawa lalu pergi meninggalkan kami berdua. Dia menuju dapur ketika melihat dad sedang di dapur. "Hey kalian makanlah. Aku tak mau mengurus biaya rumah sakit jika kalian jatuh sakit." Teriaknya di ambang pintu.

"Ya sebentar lagi saja." Balas ku tak mau kalah teriak.

"Dan hey dirumah tidak ada makanan. Pergilah mengunjungi restaurant seperti biasanya." Teriaknya sekali lagi dan semakin keras.

"Okay. Dan bisakah kita hentikan hal seperti ini? Ini membuat telinga kekasih ku terganggu mom." Jawabku asal. Ya siapa lagi jika bukan Abby yang ku maksud. Si pemilik telinga yang ku maksud hanya menatapku dengan tatapan malu-malunya. "Bukan kau yang ku maksud. Tidak usah berbinar seperti itu." Bisik ku pada Abby. Jelas aku hanya bercanda. Aku benar-benar berharap dia menjadi milik ku. Tapi kurasa itu tidak akan terjadi. Sangat sulit menjelaskan bagaimana rasanya memiliki perasaan berbeda pada wanita yang sejak kecil terus bersama mu. Bahkan aku sudah menganggapnya adikku sendiri. Tapi sungguh, tentang hubungannya dengan Louis, aku tidak bisa menerimanya. Memang aku sudah berusaha bersikap biasa tapi itu sulit. Aku terlalu cemburu melihat Abby bersama Louis. Mungkin karena aku menyadari bahwa Louis lebih baik daripada aku. Dan ia sangat amat lebih pantas untuk Abby daripada aku.

Aku menarik tangan Abby dan segera menuruni tangga.

"Harry kau sialan. Tanganku sakit." Keluhnya. Ia terus saja mengomel di belakang ku. Kebiasaan Abby atau semua wanita di dunia, selalu saja mengomel.

Ia terus saja bicara walau kita sudah berada di sofa sejak beberapa menit yang lalu. Hal yang menurutku tidak terlalu penting untuk di bicarakan.

"Kau mendengar ku tidak?" Tanya Abby tiba-tiba. Aku yang sejak tadi melamun hanya bisa menatapnya bingung. "Kau tidak mendengar ku ya?" Tanyanya lagi.

"Uhm aku mendengar mu. Ya tentu saja aku mendengar mu." Jawabku canggung. Aku menatap matanya. Mata yang indah, sangat cocok untuk mata indahnya.

Aku mendekatkan wajahku ke arahnya. Dan ia hanya diam sambil menatap mataku. Aku menempelkan bibir ku pada bibirnya. Bisa kurasakan bibirnya mengukir senyuman. Matanya terlihat malu-malu kali ini. Kulihat ia memejamkan matanya secara perlahan seraya mengalungkan kedua tangannya di leher ku. Aku ikut memejamkan mataku dan segera melumat bibirnya lembut. Bibirnya sangat kenyal dan juga mungkin bibir ternikmat yang pernah ku rasakan.

"Hey cepatlah. Kami berdua sudah siap." Teriakan mom kembali terdengar. Kali ini ia sambil menggedor pintu.

Aku hanya bisa mengumpat sebelum membalas teriakan mom. Sekali lagi ia membuat semuanya terhenti begitu saja. Aku baru menyadari apa yang mom katakan, "kami berdua sudah siap." Dan itu artinya kami akan makan bersama mom dan juga dad?

"Kita? Bersama mereka? Kurasa aku pulang saja." Ucap Abby.

"Tidak. Kau akan bersama ku." Ucapku. Aku segera berdiri dan menuju lemari di samping tangga. Mengambil dua baju hangat untuk ku dan satu lagi untuk Abby.

STYLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang