49

4.3K 353 24
                                    

Hari ini adalah hari dimana aku akan menghadiri wisuda kelulusan ku. Beberapa bulan yang berat telah ku lalui.

Tapi sayangny aku belum bisa melupakan kejadian itu. Hampir lima bulan semenjak kejadian di garasi itu, aku sekalipun tak pernah berbicara dengan Harry. Jangankan berbicara, menatapnya saja aku tidak pernah.

Orangtua Harry tau tentang kejadian itu. Berulang kali mereka mencari ku namun Louis selalu bilang aku tidak mau membahas kejadian itu. Tentu saja Louis tau tentang semuanya dan dia sangat marah. Tapi ia tak membocorkannya pada ibu. Aku tidak mau hubungan ibu dan orangtua Harry terputus. Walaupun sekarang aku tak berharap ibu berhubungan lagi dengan mereka.

Knock... Knock...

Aku berlari menuruni anak tangga setelah mendengar suara ketukan pintu dari bawah. Stella bilang ia akan menjemput ku dan pergi ke acara wisuda bersama ku. Aku yang sudah berdandan cantik segera turun kebawah untuk membukakan pintu untuknya.

"Hai."

Tubuhku menegang melihat siapa yang berani-beraninya mengetuk pintu rumahku. Dia bukanlah Stella yang kutunggu sejak tadi. Dia adalah orang yang kehadirannya sama sekali tak ku inginkan. Aku mencoba menutup pintu kembali sebelum airmata ku menetes melunturkan make up ku.

"Tunggu, Abs. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan." Pintanya seraya tangannya mencegah ku untuk menutup pintunya. Aku mencoba menutup pintunya sekuat tenaga namun aku kalah kuat darinya.

"Pergilah!" Ucapku berusaha untuk tenang dan terlihat tegar.

"Tidak sebelum kau mendengarkan ku. Sudah hampir lima bulan kita tidak bicara dan itu membuat ku frustasi."

"Frustasi? Kau memang brengsek Harry."

"Dengarkan aku---"

"Untuk apa? Kau akan menjelaskan bagaimana ide menukar kehidupan ku dengan sebungkus ganja? Hebat sekali kau Harry. Memangnya kau siapa berani mengatur hidup ku?"

"Abby aku tidak membuat perjanjian dengan Zayn untuk menukar mu dengan ganja. Percayalah."

"Huh? Apa perlu aku percaya lagi pada mu? Sejak kecil aku selalu percaya pada brengsek seperti mu dan inilah hasil dari kepercayaan ku. Mungkin jika aku masih tetap percaya padamu, kau akan membuat ku menjadi pelacur."

"Jaga mulutmu Abby!"

"Jaga sikapmu Harry! Kau bukan lagi siapa-siapa untukku. Kau memang pernah menjadi yang spesial, kaulah yang memperkenalkan aku tentang kehidupan yang menyenangkan setelah apa yang terjadi pada keluarga ku bahkan kaulah pria pertama yang telah tidur denganku, tapi sekarang kau tak lebih dari sampah dimata ku."

"Abs,"

"Berhenti memanggil ku seperti itu. Kenapa wajah mu terkejut? Oh apa kau kira aku tak bisa berbicara seperti itu? Wah terima kasih Harry karena kau menumbuhkan keberanian dalam diri ku untuk berbicara seperi itu."

Harry masih menatapku tak percaya. Bahkan aku sendiri juga tak percaya dengan apa yang ku ucapkan tadi. Semua itu bahkan seperti tak terlintas di otakku.

Menatap Harry setelah lima bulan terakhir aku tak menatapnya membuat dada ku terasa sangat sesak. Bisa kurasakan mataku yang mulai memanas dan berair. Terlintas di benakku bagaimana Harry memperlakukan aku dulu. Memori indah saat kita bersama, tertawa, bersedih, bahkan pertengkaran yang kita lalui dulu terus saja berputar di pikiran ku. Seakan ada layar besar yang memutar video tentang aku dan dia.

Bisa kurasakan kini airmata mulai membasahi pipiku. Kepalan tanganku sudah meremas gaun merah yang aku kenakan saat ini.

"Abs kumohon hentikan. Kau tau itu menyiksa ku." Harry mencoba menenangkan ku.

"Hentikan itu!" Bentakku setelah menyadari tangan Harry mulai bergerak menyentuh pipiku. "Kau tidak perlu menghapus airmata ku lagi, Harry. Dan apa kau bilang tadi? Tangisan ku menyiksa mu? Maka nikmatilah siksaan ini. Siksaan yang dengan sengaja kau buat."

Harry terdiam dengan wajah kakunya. Aku tau dia sedang menahan emosinya.

"Sekarang pergilah kumohon. Aku ingin kehidupan normal ku kembali." Pinta ku dengan sesekali terisak. Aku tau isakan ku membuat Harry semakin marah, namun aku tak sengaja membuat diriku terisak seperti ini.

"Kehidupan normal? Dengan pakaian seperti itu? Kau mau hidup normal tapi kau malah merubah dirimu menjadi terlihat seperti pelacur! Memang pantas aku menukar mu dengan sebungkus ganja. Ganja lebih terlihat berkelas daripada dirimu yang sekarang!"

"BRENGSEK! PERGI!" Teriakku dengan keras lalu menutup pintu sekeras-kerasnya. Kau tau apa yang lebih menyakitkan saat ini? Mendengar Harry berbicara seperti itu. Sungguh ini membuat ku semakin tak bisa menahan tangisku. Rasa nyeri di dadaku semakin membuatku ingin menyudahi hidup ini. Aku tidak tahan ketika kata-kata dan suara Harry terus menerus terdengar ditelinga ku. Rasanya seperti seluruh manusia di dunia menyebut ku pelacur seperti Harry menyebutku demikian.

Kuharap aku tak pernah mengenalnya selama ini. Aku salah menilai Harry. Aku salah berteman dengan pecundang sepertinya.

Aku mengutuk diriku sendiri karena begitu menyayangi Harry. Aku menjambak rambutku ketika mengingat aku memohon Harry untuk melakukan sex denganku.

Aku gadis terbodoh di dunia karena mencintai pria brengsek seperti Harry.

*****

"Abby kau sudah siap? Aku tunggu di mobil." Suara Lou membuat ku cepat-cepat memoleskan lipstik pada bibir ku dan segera turun untuk menemuinya.

Hari ini mungkin hari besar untukku. Aku akan pergi ke London dan kuliah di sana. Tinggal bersama ibu dan keluarga lainnya.

"Hei, jangan lupa untuk mengunci pintunya." Teriak Louis mengingatkan.

Aku kembali memasuki rumah untuk terakhir kalinya. Rumah ini sudah kosong. Hanya tinggal bangunan dan akan segera menjadi milik orang lain. Ya ibu menjualnya untuk biaya kuliah ku di London.

Aku memposisikan bokong ku bersentuhan dengan lantai. Memandangi setiap sudut rumah yang telah lama ku tinggali ini. Mengingat setiap memori yang tercipta dalam rumah ini. Ingatan akan ayah, ibu, bahkan Harry.

Pertengkaran terakhir ku dengan Harry juga terjadi dirumah ini. Bagaimana aku berani marah padanya, bagaimana aku membuatnya tak bisa berkata-kata untuk pertama kalinya, dan bagaimana ia menyebutku pelacur pada hari itu. Perkataannya membuatku gagal menghadiri acara wisuda karena aku sangat amat berantakan pada hari itu.

Tapi kini semua itu tinggal kenangan. Bahkan yang aku tau Harry sudah lebih dulu meninggalkan Orlando dan pindah entah kemana bersama orang tuannya. Tak pernah ada kabar darinya lagi setelah kejadian di hari wisuda itu.

Aku segera berdiri setelah mendengar suara klakson mobil Louis. "Selamat tinggal." Bisikku yang ku tujukan untuk rumah penuh kenangan ini.

Dengan meninggalkan kota ini, aku berharap bisa meninggalkan kenangan itu bersama kota ini. Aku ingin hidup baru di London. Aku ingin memulainya lagi mungkin tidak dari nol, tapi aku akan memperbaiki kehidupan ku.

Selamat tinggal Florida. Selamat tinggal Harry.

_______

xx key

STYLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang