"Jadilah milik ku." Bisiknya. Aku menatapnya cukup lama, bingung untuk merespon seperti apa.
Aku memang sangat menginginkannya, tapi menjadi miliknya berarti benar-benar miliknya. Bukan aku tak mencintainya, hanya saja dengan hati yang terbagi seperti ini aku tidak berani, aku takut menyakitinya. Aku takut akan membuatnya kecewa.
Harry mengelus rambutku membuatku kembali untuk menatap matanya. "Aku tau kau belum siap atau mungkin kau mencintai pria lain. Tapi sungguh, aku mencintaimu. Bahkan mungkin sejak kita berumur sepuluh tahun. Kau tau, kau adalah cinta pertama ku." Harry menghela nafas panjang ketika ia berhenti berbicara.
Mata ku menatap kedalam matanya, ada sesuatu yang berbeda darinya. Bukan kebohongan, tapi lebih terlihat kearah ketakutan. Entah apa yang ia takutkan. Mungkin ia takut kehilangan ku, atau ia takut aku akan menolaknya, atau mungkin yang lainnya.
"Baiklah." Ucapnya tiba-tiba. Aku yang masih bingung dengannya hanya bisa menatapnya tanpa berbuat apapun. Ia berdiri dan pergi meninggalkan ku begitu saja.
Aku hanya bisa menatap lemari yang berubah menjadi begitu menarik. Aku bisa saja mengiyakan ucapan Harry tadi. Tapi aku akan menyakiti diriku dan juga Harry jika aku mengiyakan.
Dan di sisi lain aku berfikir tentang Harry yang bukan milikku. Aku tidak tau bagaimana jadinya jika aku kehilangan Harry nantinya. Aku pun tidak punya hak untuk marah jika ia bersama wanita lain. Aku tidak punya hak untuk menahan Harry karena status kami hanya sahabat.
Semakin aku jauh memikirkannya, semakin terasa nyeri di dadaku. Aku tau aku telah menyakiti Harry. Aku tau dia pasti sangat kecewa denganku. Bahkan aku tak berkutik sedikitpun ketika ia pergi meninggalkan ku.
Aku menenggelamkan wajahku ke bantalan sofa. Menjerit sekuat tenaga mencoba melepaskan rasa sesak di dalam hatiku. Aku menjerit sekeras aku bisa. Menahan airmata sebisa mungkin.
"Sial! Kau pengecut Abby!" Teriakku. Aku memukul-mukul sofa dengan genggaman kedua tanganku. "Kau brengsek Abby!" Sekali lagi aku merutuki diriku sendiri.
Semakin aku marah, semakin aku merasakan nyeri di dadaku. Tanpa sadar aku melemparkan bantalan sofa kearah meja. Membuat beberapa gelas dan vas bunga jatuh ke lantai.
"Abby," Harry memanggil ku. Aku hanya menatapnya tanpa berbuat apa-apa. Oh Tuhan kutuklah aku. "Kau kenapa?" Tanyanya lagi penuh rasa khawatir. Aku tidak menjawabnya, aku hanya diam menatapnya nanar. "Abby! Kau dengar aku, kan?" Bentaknya sekarang.
Aku masih tetap menatapnya, sedetik kemudian airmata menetes dari mataku. Aku ingin berlari, aku ingin keluar dari sini. Aku tidak tahan melihatnya. Aku semakin merasa bersalah ketika melihatnya. Tapi aku tertahan, seakan otakku menyuruh ku untuk tetap diam disini.
"Tinggalkan aku Harry." Pintaku dengan suara parau. Aku tidak ingin melihatnya, aku juga tidak ingin terlihat hancur.
"Tidak!" Balasnya membentak ku.
"Tinggalkan aku!" Pintaku sekali lagi dengan nada suara yang lebih keras dan berani.
"Tidak! Sudah diamlah!" Bentaknya sekali lagi. Ia mendekat kearah ku, memelukku dengan sangat erat. Aku benci terlihat begitu rapuh hanya karena tidak tau harus melakukan apa. "Dengarkan aku, aku tidak masalah kau akan menjadi siapa ku. Bahkan jika kita memang tidak ditakdirkan bersama, kau akan tetap menjadi bagian dari hidupku." Jelasnya. Aku tau ada nada ketidak yakinan dalam hatinya.
"Harry, aku hanya belum siap." Ucapku kemudian. Butuh beberapa menit untuk memberanikan diri mengeluarkan apa yang telah ku pikirkan sejak tadi.
"Aku tau itu." Balasnya seraya memeluk ku semakin erat seakan ia tak mau aku meninggalkannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
STYLES
RandomMy mouth hasn't shut up about you since you kissed it. The idea that you may kiss it again is stuck in my brain. Which hasn't stopped thinking about you since well before any kiss. 18+