48

3.2K 322 8
                                    

Aku benci harus mengingat apa yang Harry lakukan. Hampir seminggu sudah kejadian itu berlalu namun aku sama sekali tak bisa sedikitpun melupakannya.

Kali ini ia sudah terlalu menyakiti hati ku. Menghamili Jenny, membuat perjanjian dengan Zayn, hingga berani menukar hidupku atau mungkin nyawa ku demi ganja. Sialan! Apa begitu tak berartinya aku untuknya? Lantas selama ini apa? Hanya sebuah cara untuk aku supaya percaya padanya? Bahkan dia lebih keji dari pembunuh sekalipun.

Aku melihat wajahku di cermin. Aku begitu buruk, begitu berantakan sehingga aku sama sekali tak ingin mengenal gadis yang berada didepan ku. Rambutku sangat berantakan, mata ku begitu sembab, sangat jelas terlihat jika dia adalah gadis paling menyedihkan di dunia karena terpuruk oleh kesedihannya.

Tiba-tiba saja aku melihat sosok Harry berdiri di sampingku, tersenyum. "Kau tau?" Tanyaku sambil terisak karena airmata tak lagi bisa kubendung. "Aku terlalu percaya padamu, bahkan aku sama sekali tak bisa percaya kau melakukan itu padaku." Lanjutku.

Di cermin, aku bisa melihat rahangnya menjadi kaku. Ada ekspresi marah, kesal dan mungkin sedikit terlihat sedih. Airmata ku tampaknya tak bisa lagi terbendung. Aku mulai merasa pening ketika aku semakin tak bisa mengontrol tangis ku. Begitu menyakitkan menyadari ini semua. Begitu memalukan pula aku hanya membayangkannya ada di sisi ku saat ini.

Aku mulai sadar hanya bayangan Harry yang kulihat di cermin. Begitu menyakitkan hingga aku tak bisa terima semua ini. Bayangan Harry masih ada di cermin, aku menghapus airmata ku. Beberapa detik kemudian pecahan cermin sudah berserakan. Ada darah segar mengalir di genggaman tanganku. Rasa perihnya hanya terasa di awal saja tergantikan oleh sedikit kelegaan dalam hatiku. Aku sudah menonjok Harry Styles!

"Abby kau baik-baik saja? Jawab aku Abby! Oh Ya Tuhan." Suara Louis sedikit menenangkan.

Kuputuskan untuk menutup mataku, merasakan perih, sakit, puas dan perasaan lainnya yang kudapat setelah menonjok Harry. Walaupun tidak benar-benar menonjok brengsek itu, aku sudah cukup puas dengan yang kulakukan pada cermin yang menciptakan bayangan Harry. Aku hanya berani melakukannya pada cermin malang itu. Tak ada keberanian dalam diriku untuk melakukannya pada Harry.

Apa salah ku? Apa Tuhan menghukum ku karna aku hampir tak pernah mengingatnya? Apa ini takdir yang ia tuliskan untuk ku?

Aku marah pada Harry, aku marah pada Zayn, aku marah pada diri ku sendiri. Aku marah pada semua orang yang berurusan dengan mereka. Aku benci hidup ini!

Kurasakan butiran air membasahi pipi ku sekali lagi. Kurasakan air mengalir dari sudut mataku hingga jatuh ke leher ku. Airmata ini sama sekali tak bisa memperlihatkan bagaimana yang dirasakan hati ku. Bohong jika aku bilang aku baik-baik saja. Dan terlalu berlebihan jika aku bilang aku tak bisa hidup dengan penderitaan seperti ini. Bagaimana pun juga aku harus memperlihatkan aku baik-baik saja.

Aku harus menjadi Abby yang dulu. Menjadi Abby yang tidak peduli dengan apapun yang orang katakan. Abby yang pendiam dan tidak mau terlalu dekat dengan semua orang. Abby yang tak bisa percaya begitu saja pada seseorang. Abby yang hidup tanpa memikirkan cinta.

Cinta bisa membuat seseorang menjadi lemah.

Kurasa itu benar. Cinta bisa membuat mu menjadi bodoh. Untuk apa kau butuh cinta jika cinta bisa membuat mu gila? Gila dalam hal negatif. Bisa saja cinta membuat menjadi perampok, pembunuh sekalipun. Lantas untuk apa ada cinta? Persetan dengan cinta.

*****

Terhitung hampir dua bulan setelah kejadian itu. Aku bangkit karena aku ingin bangkit. Mencoba memutar hidupku menjadi yang lebih baik atau lebih buruk sekalipun.

Aku tidak mau semua orang memandangku lemah. Aku tidak mau terpuruk pada kejadian yang paling menyulitkan ku sekalipun. Harus kuakui masih ada kemarahan dalam diri ku. Tapi apa gunanya memikirkan itu terus menerus.

Aku kembali bersekolah seperti biasa. Meningkatkan prestasi ku yang beberapa bulan terakhir sempat menurun karena sering membolos sekolah. Mencoba mengembalikan repurtasi ku kembali di mata guru-guru ku.

Harry? Dia masih bersekolah bersama ku. Beberapa mata pelajaran yang mengharuskan kami sekelas juga tak membuat ku peduli padanya sekalipun. Dia bahkan datang lebih awal untuk mengambil bangku di pojok kelas dekat jendela dan aku mengambil bangku di depan, dekat dengan pintu. Ya berusaha untuk menghindarinya. Berusaha tak melakukan kontak mata dengannya.

Stella? Dia masih menjadi sahabat ku. Dia tau semuanya setelah aku bercerita padanya. Tak sedikitpun yang kutambah atau ku kurangi dalam ceritaku. Semuanya persis sama seperi kenyataannya. Bahkan ia juga membantu ku menghindari Harry.

Aiden? Dia tak lagi menjaga ku seperti yang dulu ia lakukan. Tapi aku tau dia masih melakukannya. Aku tak marah padanya walaupun mungkin dia tau ini akan terjadi. Tapi entahlah Aiden tak lagi akrab dengan ku seperti dulu. Setiap kami berpapasan ia selalu memperlihatkan wajah bersalah dan cepat-cepat pergi.

Zayn? Si brengsek itu juga masih bersekolah di sini. Tapi beruntunglah aku hanya memiliki satu mata pelajaran yang sekelas dengannya. Ia masih tetap menggoda ku di awal-awal. Tapi semenjak aku memergoki Harry memukulnya di koridor, ia tak berani mendekati ku. Aku berterima kasih pada Harry? Tentu tidak. Dia yang membuat Zayn bersikap kurang ajar pada ku.

Dan aku sungguh tak akan memaafkan perbuatan mereka berdua.

_______

xx key

STYLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang