Chapter 3

5.3K 258 0
                                    

Ana pov

Malam ini aku akan tampil di acara paling keren. Yey..... Im so much happy and cant explain this feeling!!!I. Sekarang pukul 6 pm dan acaranya pukul 7 pm. Aku sudah berada di backstage. Grace yang memilihkan gaun berwarna putih 5 cm dibawah lutut dan tanpa lengan. Rambutku di ikat setengah dan diberi pita berwarna putih. Aku memakai flat shoes berwarna putih senada dengan dress dan pitaku. Aku mematut diriku di kaca. Grace telah menungguku dibangku penonton.

"Ana?!?", aku menoleh kebelakang dan menemukan gadis cantik dengan rambut pirang yang bernama Emily Hillary. Wow! Dia terlihat sangat cantik dengan gaun hitam lengan panjang dan tanpa di duga gaun tersebut mengekspos bagian punggungnya yang berwarna putih tersebut.

"Hai em! You're so beautiful." ,pujiku dengan tulus. "Hei...hei... thankyou Ana but look at you, you look so pretty and cute. Oh my god! You're beautiful Ana", katanya sambil memutar tubuhku.

"Stop em! Thankyou and Let's us prepare!" Kataku dan mengajaknya duduk tenang.

Akhirnya konser dimulai...

---

"We have one performance from beautiful pianist", kata-kata MC yang membuatku semakin gugup.

"Anastasya Stella Hanggoro". Lalu aku naik ke panggung dan maju kedepan. Aku melihat penonton yang sangat banyak dan terlihat sangat kecil. Namun aku dapat menemukan Grace, sahabat yang paling ku sayangi duduk baris ke5 dari depan dan berada tepat lurus didepanku.

Aku memberikan senyuman yang paling manis kuberikan ke penonton. Tapi, aku terpaku ketika melihat Geraldo? Apakah itu dia? Berada tepat di kanan Grace.

Aku segera sadar dan berbalik menuju stool. Apakah dia tau siapa yang berada dipanggung saat ini? Apakah dia melihatku? Akh... aku tidak boleh memikirkannya. Mungkin saja aku salah orang. Ya benar aku salah orang.

Aku mulai memainkan lagu classic kesukaanku symphony no 39 setiap tuts piano kumainkan dengan percaya diri. Aku menikmati setiap jari lentikku ini bermain di atas tuts tuts piano.

Setelah selesai memainkan symphony no 39 dengan segera aku turun dari panggung dengan tepuk tangan dan teriakan dari para penonton. Tidak lupa aku memberi hormat namun aku tidak ingin memandang ke arah Grace karena jika aku melihat kearahnya, akankah aku melihat dia?

Aku langsung menuju ke backstage dan memeluk Emily. Emily tampil pada awal acara. "I am proud of you Ana. I think I wanna you to be myidol! Hahahhaha", kata Emily. "Thankyou so much Emily, I hope so! Hahaha"


Author pov

"Ray, tolong belikan tiket Classical Concert of Melbourne sekarang. Acaranya ada pada besok malam", pinta Gerald sang CEO lewat telepon.

Ray adalah tangan kanan Gerald. Dia sudah bekerja selama kurang lebih 10 tahun di perusahaan ini. Usianya sekarang sekitar 35 tahun tapi dia terlihat berusia 28 tahunan. Dia tidak kalah tampan dari bossnya Geraldo Adrian Brackley ini. Ray adalah orang yang sangat disiplin dan mempunyai perawakan idaman para kaum hawa.
Dia adalah orang Indonesia asli. Ia mengikuti kemanapun Gerald pergi. Terkadang orang yang belum tau mereka akan mengira kalah mereka kakak adek.

Geraldo pov

"Okey boy. VIP?", tanya Ray. "Lo tau jawabannya Ray", jawabku dan langsung mematikan telepon.

"Jane!", panggilku kepada sekretaris.

Dia langsung datang ke ruangan ku dengan pakaian yang bisa dibilang pakaian menggoda kah? Kemeja warna merah darah yang dua kancingnya terbuka mungkin dibiarkan terbuka dan dengan rok hitam 20 cm diatas lutut. Entahlah aku tidak tergoda padanya. Menyukai pakaian yang dipakainya saja tidak. 

"Yes Mr. Brackley? Any problem?", jawabnya dengan accent British.

"What is my schedule for today?", tanyaku. "You've meeting with Mr. Alvaro Gilton at 1 pm in tatomix restaurant. Just it for today Mr."
"Okey", sahutku dengan cepat.
"I am sorry Mr. I have heard that you'll go to some concert. Can I follow Mr?". Katanya dengan percaya diri.

Aku mulai berfikir, boleh juga daripada aku hanya menonton dengan Ray nanti dikira homo lagi, gapapalah ngajak kuntilanak satu ini. "Okey, you can ask Ray for your ticket.". Sahutku "thankyou Mr!", sahutnya dengan bahagia.


Penthouse

Setelah ada meeting sekalia lunch dengan Tuan Alvaro Gilton aku langsung kembali ke penthouse. Aku merebahkan tubuhku di sofa depan tv.

Ceklek

Suara pintu penthouse terbuka dan aku segera membenarkan cara dudukku lalu munculah Ray.
"Do. I got 3 tickets and I've given one to Jane". Katanya langsung duduk di sampingku.
"Thankyou Ray. Gue kira lo gak dapet tiketnya." Jawabku. "Lo sih gue ngasih taunya mepet banget, untung aja gue ada kenal temen yang jadi panitia" katanya sebal.

Classical Concert of Melbourne

Aku dan Ray berangkat dari penthouseku. Ray tinggal di apartemen agak jauh dari penthousku.

Aku melihat penampilanku. Aku memakai kemeja hitam lengan pendek dan dilapisi dengan sweater berwarna biru dongker beserta jeans hitam. Sedangkan Ray memakai kemeja hitam yang dilipat sampai kesiku.

Kami langsung masuk ke gedung pintu masuk dan kami tidak harus menunggu Jane karena Jane sudah membawa tiketnya sendiri. Aku sangat tau ketika aku berjalan di loby gedung ini hampir semua pasang mata melihat kami dengan tatapan kekagumanan. Dan yang pasti aku tidak memperdulikannya. Aku terus jalan sampai ke lift.

Aku langsung menemukan tempat dudukku. Aku berada di barisan ke5. Aku ingin sekali duduk paling depan tapi mungkin Ray sudah tidak mendapatkannya karena telatnya aku memberitahu tentang konser ini.

Ternyata, Jane telah sampai duluan dan dia duduk paling kanan dari 3 tempat duduk yang masih kosong. Aku tidak ingin duduk disebelahnya jadi Ray yang duduk diantara aku dan Jane. Pantas saja Jane sudah datang karena waktu telah menunjukan pukul 6.50 pm. Aku memposisikan diriku senyaman mungkin di tempat duduk.

"Gerald?" Aku langsung menoleh kesamping kiri. Aku menemukan seorang gadis yang sedang menatapku meneliti dengan intens. Aku balik menatapnya dengan mengangkat salah satu alisku. Dia terlihat cantik dan berwajah dewasa. Mungkin umurnya dua tahun lebih muda dariku. Apakah aku mengenalnya?

"If we knew each other?", aku memutuskan untuk mengakhiri lamunannya. Sekarang aku menatapnya dengan tatapan tajam meneliti sehingga aku yakin dia merasa teritimidasi.

"Ah entahlah, aku tidak yakin kita saling kenal", katanya sambil mengendikan bahu dan mengalihkan pandangannya kedepan dimana MC sudah mulai berbicara kalau acaranya akan dimulai. Eh tunggu dulu. Dia menggunakan bahasa Indonesia yang sangat fasih itu berati dia dari Indonesia, bukan?

"Maksudmu?", aku kembali bertanya sambil mengangkat salah satu alisku.

Dia kembali menolehkan wajahnya kehadapanku yang kebingungan.

"Sudahlah lupakan!" Katanya sambil melambaikan tangannya.

Siapa dia?

Acarapun segera dimulai dan pianist pun mulai berganti memainkan piano yang ada di atas panggung. Mereka membawakan lagu-lagu klasik dengan keahliannya dalam memainkan piano.

---

"Ana!", teriak dari sebelah kiriku dan benar memang dia tepuk tangan sendiri. Dia terlihat sangat bahagia sambil memandang ke panggung.

Aku mengikuti arah pandangan di sebelah ku itu. Aku melihat seorang gadis yang sangat anggun dan polos. Ia memakai baju berwarna putih tanpa lengan sepanjang 5 cm dibawah lutut. Dia menggunakan flat shoes dan pita di rambut yang diikat setengah dengan warna yang senada.


Hello readers!
This is myfirst story. And I'm studying for writting.
Comment and Voted please
Thankyou for reading

Ig Gracialh

LOVED or LOVESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang