17. Mengalah dengan takdir.

537 20 10
                                    

Ini bukan tentang perasaan tak terbalaskan.

Bukan pula tentang cinta bertepuk sebelah tangan.

Tentang perasaan tak tersampaikan, bukan itu.

Melainkan tentang sebuah pemikiran rasional yang dapat dijabarkan.

Sesuatu yang dapat di pahami.

Yang terpenting sesuatu yang dapat dengan mudah di sangkal ketika berkaitan dengan cinta.

Inilah kisahku.

^^

Beberapa minggu ini agendaku begitu padat. Frekuensi bertemu Mutia pun kian menipis. Jangankan untuk bertemu, sekedar bertegur sapa via telpon saja kita tak bisa. Waktuku tersita dengan kerjaan di rumah sakit dan kuliah. Dia pasti menghabiskan waktunya bersama Radit. Jelas saja. Dia yang selalu bisa berada di sampingnya. Sedangkan aku?

''Ada yang nyari Pak Dokter tuh.'' Sindir Erlan.

''Please lan Ini udah lebih dari jam gue praktek. Banyak tugas kuliah nih.'' Keluh Purnama.

''Yaelah Pak Dokter sensi amat si. Cewek kok yang nyariin pak. Cantik lagi. Kayaknya yang dulu pernah dibawa balapan deh.'' Tutur Erlan.

Yang pernah dibawa balapan?

''Serius kamu?''

''Dua rius malahan.'' Jawab Erlan sembari mengangkat jari tangannya membentuk huruf v.

Purnama bergegas menanggalkan baju dokternya. Keluar ruangan dengan begitu tergesa˗gesa. Sesampainya di ruang resepsionis. Benar saja Mutia sudah menunggunya disana.

Mutia tersenyum ketika mendapatkan Purnama berjalan ke arahnya.

''Dari mana kau tahu tempat ini?''

''Ya ampun kak, memangnya kenapa kalau Mutia kesini?''

''Ini rumah sakit de, tempatnya orang sakit. Kalau system imun kamu gak kuat, nanti kamu bisa sakit.'' Omel Purnama.

''Kakak gak punya waktu untuk Mutia. Mutia yang punya banyak waktu. Apa salahnya jika menemui kakak di tempat kerja.''

''Ck. Kamu ini. Ya udah ayo kita pulang.'' Purnama berjalan mendahului Mutia. ''Jangan deket˗deket. Aku belum membersihkan diri.'' Purnama memperingati.

''Iya Pak Dokter.'' Jawab Mutia dengan malas. ''Kak Erlan benar, ternyata kakak bawelnya kebangetan kalau sudah di rumah sakit.'' Gerutu Mutia.

''Jangan dengarkan dia.''
34 menit, mereka tiba di apartemen Purnama.

''Kakak mau dimasakin apa?''

''Jangan terlalu dipaksakan. Aku tau kau tak mahir memasak.''

Mutia tersenyum menanggapi kakaknya.

''Istirahat saja. Nanti aku masakan setelah membersihkan diri. Kau jangan kemana˗mana.''

Setelah selesai mandi, Purnama bergegas membuatkan makanan untuk Mutia.

''Maaf ya, aku tak sempat mengisi lemari es. Nasi goreng tak apa kan?''

''Gpp kok kak.''

''Oke tunggu ya.''

Selagi Purnama memasak. Mutia tak beranjak dari tontonannya.

''Mmmm kak, apa mau Mutia beliin buat kakak?''

''Beliin apa?''

''Kebutuhan kakak, Mutia bisa mengurusnya selama kakak mau.''

''Gak usah. Kau saja tak bisa menjaga dirimu, bagaimana mungkin mau mengurusku.''

DIRTY MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang