"Kadang ada saat dimana harus mengukir senyuman walau pada kenyataannya bibir terasa kaku. Kaku karena terlalu banyak belati mengiris hati. ~ C.A"^^
Purnama Putra Pratama
Kian hari kian tak tentu. Gejolak emosi begitu nyata tak kala mata mencerminkan dua makhluk itu ketika bersama. Hati terasa panas, nadi seakan terbakar........... Ingin rasanya kedua tangan ini merengkuh tubuhnya dalam dekapan ku. Membuatnya nyaman, dan takkan ku izinkan ada celah tercipta untuk dimasuki orang lain. Kenyataannya....? Jangankan untuk membuatnya nyaman, yang ada aku hanya membuat ia meneteskan butiran bening itu.
Hari ini tak ada jadwal kuliah, begitu pun dengan Mutia. Kakak tiri ku? Entahlah... Dia libur kerja atau apa, aku tak tahu. Yang jelas hari ini dia ada di rumah, bersama ku dan Mutia kecil ku. Sedangkan ibu dan Abi , mereka sedang sibuk. Rumah Ibu tiri ku yang dulu tlah laku terjual. Itu artinya mereka akan menetap disini. Di rumah ini. Huft... Bisa-bisa tanduk dan ekor ku tumbuh setiap hari.
Kulihat Mutia menurungi tangga, masih dengan piyama tidur lengkap dengan sendal berbulunya.
"Apa sih kak? Berisik deh..." Teriak Mutia dengan terus berlari ke arah dapur.
"Punya Ade bau! Masa lam segini masih pake piyama, belum mandi lagi." Teriak Radit dari lantai atas.
"Kak Radit berisik! Ngatain Mutia bau tapi betah deket-deket Mutia." Jawab Mutia dengan wajah bete.
"Hahaha. . . . Bau mah cuma istilah de."
Lihat mereka... cepat sekali akrab, bahkan masih bisa terhitung jari seberapa lama mereka kenal. Sedangkan aku? Ah... Entahlah... Mungkin ini hanya permainan waktu.
"Kak..." Panggil Mutia.
Hey Mutia.... Kau memanggil kakak mu yang mana?
"Kak..." Mutia mengulangi ucapannya.
Mata ku tetap pokus menatap layar televisi.
"Kak Purnama, Mutia manggil kakak." Rengek Mutia.
"Kau memanggilku? Bukankah kakak mu bukan aku saja? Jadi pantas bukan kalau kau memanggil ku seperti itu aku mengabaikannya?" Jawab ku. "Jangan memanggil ku seperti itu lagi, kecuali jika kau ingin aku abaikan. Silahkan saja."
"Maaf, kak."
"Iya."
"Kita makan yuk kak. Kakak mau di masakin apa?"
Kita? Ku tolehkan kepala ku ke arah dapur, ternyata ada Radit disana. Oh ya, dia sudah jadi bagian dari keluarga. Aku masih berharap kita yang di maksud Mutia adalah aku dan dia. Tapi pada kenyataannya itu takkan pernah terjadi.
Entahlah... Aku tak tahu apa yang ada di kepala ku. Bukannya menjawab pertanyaan Mutia, aku malah meninggalkannya sendiri di ruang keluarga.
Aku enggan menatapnya ketika bersama Radit. Jangankan untuk menatap, hanya mendengar tawa renyahnya saja aku tak bisa. Rasanya telinga ku seakan terbakar. Kenapa aku tak mampu menciptakan benteng kenyamanan untuknya? Lihat lah... Dia terlihat nyaman bersamanya. Dan tentunya dia terlihat begitu bahagia, bahkan lebih bahagia jika dibandingkan ketika bersama ku.
"Mata tak menatap, namun telinga masih mendengar. Kau tahu bagaimana rasanya? Tetap saja sakit! ~ C.A"
^^
Dengan berdiam diri di rumah membuat emosiku tak terkendali. Jelas saja, Mutia kecil ku bersama lelaki lain. Dan kau tahu apa yang membuat ku sakit? Ada benteng yang begitu nyata memisahkan ku bersamanya.
Ketika aku hendak pergi, Mutia datang menemui ku dengan membawa nampan berisikan sandwich dan secangkir coklat panas.
"Kak Purnama mau kemana?" Tanya Mutia.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIRTY MAN
Teen FictionBukannya aku tak menerima semua kehendak Tuhan. Bukan juga menyesali semua suratannya. Aku tahu, jika semua ini tidak pernah terjadi...... Mungkin.... rasa itu tidak akan pernah muncul, juga tidak akan pernah bertahan sampai detik ini. Hanya saja, b...