1. Angelina.

2.6K 47 2
                                    

Mataku terus menyapu kesegala penjuru. Berharap menemukan seseorang yang ku kenal. Hingga berhenti tepat pada seseorang yang duduk sendiri di kursi taman berwarna putih. Wanita itu memakai pakaian yang sangat tertutup. Mulai dari atas kepala hingga ujung kaki. Tak ada sehelai rambutpun yang terlihat disana. Terlihat sangat mencolok dari sekelilingnya. Banyangkan saja ketika semua wanita memakai pakaian terbuka karena musim panas sudah datang menyapa. Dia justru memakai pakaian yang menurutku akan mengundang keringat mengucur semakin deras.

Tanpa ku sadari, kakiku melangkah mendekatinya. Sebuah senyum terukir di bibirku setelah melihat sesuatu di genggaman. Tangan kanannya memegang sesuatu seperti gelang, dengan bulatan-bulatan hitam. Sepertinya aku pernah melihat Mommy memakai itu sewaktu berkunjung ke Indonesia. Yah aku ingat, benda itu bernama thasbih. Mommy pernah mengenalkannya padaku.

Kulirik wanita ini, dia masih belum menyadari kedatanganku. Matanya tetap menatap kebawah seraya mengucapkan kalimat-kalimat yang tak ku mengerti. Terdengar samar. Sepertinya kalimat itu ditujukan untuk Tuhannya. Entah dapat keberanian dari mana, aku berani menyapanya.

"Sorry, are you Indonesian people?" Tanyaku kepadanya. Dia menoleh seraya tersenyum. Tak lama kemudian dia mengangguk.

"Apa anda bisa berbahasa Indonesia?" Tanya wanita itu.

Hey tunggu, sepertinya aku mengenal mata itu dan juga senyuman itu. Tapi, siapa dia?

"What's wrong?" Tanya wanita itu seraya melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku yang tersadar dari lamunanku langsung menoleh dan menjawab pertanyaannya.

"Ah tidak ada apa-apa. Hanya saja.... Apa aku pernah mengenalmu?" Tanyaku langsung.

Wanita itu menatapku lekat-lekat. Meneliti setiap bagian wajahku. Tak berapa lama senyuman terukir kembali di wajah cantiknya.

"Apa kau Angelina? Teman semasa kecilku, juga tetangga rumahku."

Aku berfikir lagi, mengingat bagian-bagian yang mungkin aku lupakan.

"Aku Tia. Mutiara Dwi Putri Pertiwi, teman lamamu. Apa kau tak ingat." Ucapnya dengan wajah berseri.

"Ah ya aku ingat! Kamu Tia? Ya ampun.... Sejak kapan mengenakan penutup kepala ini?" Tanganku menunjuk penutup kepala yang di kenakannya. "Aku sampai tak mengenalimu."

"Semenjak Umi sakit parah."

Ya... Aku pernah mendengar cerita darinya jika Mommy-nya pernah masuk rumah sakit. Raut wajahnya berubah menjadi sedih setelah mengingat Mommy-nya.

"Apa kau baik-baik saja, Tia?" Tanyaku memastikan. Dia hanya tersenyum seraya menganggukan kepalanya.

^^

Setelah pertemuan singkat di taman. Mutia aku ajak ke apartemen yang letaknya tak jauh dari sini. Kita kembali melanjutkan reuni yng tertunda tadi.

"Tia, kemana saja kamu? Aku menghubungi nomor telpon rumahmu berkali-kali. Juga mengunjungi rumahmu sewaktu berkunjung ke Indonesia. Tapi, yang menyapaku hanya pembantumu dan dia mengataan jika kamu pindah ke Kairo, dan sekarang aku malah menemukanmu di Paris." Sederet pertanyaan meluncur begitu saja meminta penjelasannya lebih lanjut.

"Maaf Lina. Aku lupa memberitahumu. Lagi pula orang rumah tidak langsung menghungiku. Mereka menghubungi tante Novita. Semenjak Umi meninggal, Abi memang mengirimku ke Kairo. Selama ini aku tinggal dengan adik Umi. Dia pengganti sosok Ibu untukku." Jelas Mutia panjang lebar.

"Terus.... Apa yang kamu lakukan di Paris?"

"Aku sedang menikmati liburan sebelum kembali menetap di Indonesia dan melanjutkan kuliah disana." Jelas Mutia.

"Oh ya? Kapan kamu pulang kesana? Rencananya aku juga akan melanjutkan sekolahku disana. Menemani Mommy yang kesepian."

"Besok aku akan meninggalkan Paris dan terbang menuju Indonesia."

"Aku akan menyusulmu, Tia. Lusa aku pulang ke Indonesia."

"Lina, apa kamu yakin akan tinggal bersama Mommy?" Tanya Mutia dengan hati-hati. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Lalu... Daddy?" Tanya Tia lagi.

"Daddy menikah lagi dengan seorang wanita yang ditemuinya di diskotic. Aku tidak mau memanggil dia dengan sebutan Mommy. Karena Mommy-ku hanya ada satu. Yaitu orang yang melahirkanku."

Mutia memelukku erat seakan tahu perasaanku. Aku marah ketika Daddy memutuskan untuk menikah.

"Oh iya, Lina. Bagaimana tadi kamu tahu kalau aku dari Indonesia?"

Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. "Maaf,aku tidak sengaja membaca isi surat yang tadi kamu genggam bersama thasbihmu itu."

^^

Hari menjelang malam. Matahari telah kembali keperaduannya. Aku menatap Mutia tak percaya dengan keputusannya. Bagaimana bisa dia mau mengantarku ke gereja dengan pakaian seperti itu.

"Kamu yakin mau mengantarku ke gereja, Tia?" Tanyaku kembali memastikan.

Tia menganggukan kepalanya dengan mantap.

"Sebaiknya kamu tunggu disini saja. Aku pergi tidak akan lama kok." Aku kembali membujuknya agar mengurungkan niat untuk mengantarku ke gereja.

"Aku akan ikut." Jawab Mutia keukeuh. "Lagipula ini pertama kalinya aku ada teman di negeri orang."

Akhirnya aku menuruti permintaannya. "Baiklah. Tapi, kamu jangan menungguku di sekitar gereja. Pasti semua orang akan bertanya dengan apa yang kamu lakukan di depan gereja dengan pakaian seperti ini." Jelasku panjang lebar.

"Iya." Jawab Mutia.

^^

Setelah aku selesai memanjatkan doa dihadapan Tuhanku. Aku keluar dari gereja. Kulihat wanita anggun yang bersamaku tadi dari kejauhan. Kira-kira berjarak 100 meter dari tempat aku berdiri sekarang. Kepalanya menunduk, menatap tanah yang di pijakinya. Bibir tipisnya tak henti-henti mengucapkan kata yang tak dapat di dengar orang lain. Tangannya terus bergerak mengimbangi setiap kata itu. Aku tersenyum melihatnya dari kejauhan. Mommy selalu melakukan apa yang Mutia lakukan jika kepalanya terasa berputar. Dengan begitu Mommy bilang dia mendapatkan kekuatan tersendiri.

Aku tahu sekarang, kenapa Mutia merasa aman walau sendirian di negeri orang. Pakaian yang dikenakannya menunjukan jika dia wanita terhormat. Wanita baik-baik, dan juga wanita yang dapat menjaga martabatnya sebagai kaum hawa di depan kaum adam sekalipun. Dan yang paling penting Mutia selalu berada dekat dengan Tuhannya.

^^

Pagi-pagi buta Mutia membangunkanku. Yah.... Semalam dia memang menginap di apartemenku. Semua perlengkapannyasudah di packing rapih entah sejak kapan. Dia tetap tidak putus asa membangunkanku dari mimpi indah ini.

"Lina! Aku mau berangkat."

"Aduh, Ti! Kamu mengganggu sekali. Aku sedang mimpi indah, apa kau tau hah?" Ucapku sedikit marah.

Dia hanya tersenyum seraya tak henti-hentinya menggangguku. Akhirnya aku menyerah. Aku bangkit dari tempat yang memberikanku kenyamanan ini.

"Aaaahhhhh. Kamu harus membayar ini semua, Tia. Kau menganggu tidurku." Umpatku kesal.

"Iya-iya. Apayang kamu inginkan akan aku penuhi. Yang jelas sekarang bangun dan antar sahabatmu ini ke bandara."

--

tbc

C.A

DIRTY MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang