16. YOU

705 31 2
                                    

Kamu adalah apa yang tak pernah aku mimpikan

Kamu sesuatu yang tak pernah terbayangkan

Kamu seseorang yang tak pernah menjadi kenyataan

^^

Bagaimana mungkin adik kecilku bisa berkata demikian? Apakah selama ini perasaanku begitu mudah terbaca? Lalu selama ini usahaku untuk menutup itu rapat rapat berarti sia-sia saja? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Jika adik kecilku saja mampu meraba perasaanku dengan begitu mudahnya lalu apa kabar dengan orang orang di luar sana?Ah kau bodoh Purnama!

''Kak.'' Panggilan Mutia menyentakkanku.

''Hhmm.''

''Jangan kebanyakan ngelamun kak.'' Tegur Mutia.

Aku hanya tersenyum menanggapi gurauannya. ''Abisnya sedari tadi kamu ngajakin becanda mulu si.'' Tanganku mencubit hidungnya dengan gemas.

''Mutia serius kak.''

''Oke. Katakan aku harus menjawab apa?'' Jangan sampai kamu salah dalam menanggapi ucapan adik kecilmu ini. Yang ada nanti kamu terjebak dengan perkataanmu sendiri Purnama.

''Jujur saja kak, itu lebih dari cukup. Setidaknya kita tau perasaan masing masing.''

''Boleh bertanya satu hal?''

Mutia hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Mutia kemudian menggeser posisi tidurnya. Mencari posisi senyaman mungkin di pangkuanku.

''Setelah ini apa yang akan kita lakukan?''

Jujur saja. Aku harap harap cemas menunggu jawabanya. Walaupun aku mencintainya sedimikian rupa, Tapi aku masih waras jika hanya untuk menjadikannya milikku. Otakku masih berfungsi dengan baik untuk menanggapi situasi ini.

''Memperbaiki hubungan. Mutia tidak mau melihat kakak yang terus menerus menghindari Mutia. Kita pernah lebih dekat dari sebelumnya kak. Mutia menginginkan itu kembali. Tak lebih dan tak kurang. Mutia rasa itu permintaan tak terlalu sulit. Nah sekarang katakan apa jawaban kakak.''

Aku menghela napas lelah. Sampai juga di titik ini setelah mati matian mengulur waktu.

Aku menautkan jemari kita. Rasanya begitu pas.

''Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tanpa di jawab pun rasanya kau sudah tau apa yang ku maksudkan. Jika kau bertanya kenapa tidak memilih satu kata diantara iya atau tidak. Dua duanya bukan kata yang pas untuk saat ini. Kau tahu? Mata, hidung, bibir, semua organ yang kau miliki ada pada diriku juga. Kita berbagi tempat yang sama. Bahkan ketika kita mengakui masing masing dari kita mempunyai rasa yang sama. Kita bisa berbuat apa? Tak ada pilihan untuk kita berdua.''

Mutia menatapku lekat. Tersenyum dengan manisnya. Lalu mengangguk membenarkan semua perkataanku.

''Entahlah... Tak ada alasan mengapa Mutia tidak bahagia bersama kakak.''

''Harusnya aku yang berkata demikian.''

Tanganku terulur mengelus puncak kepalanya.

''Badanmu sedikit demam, dek.'' Akhirnya panggilan itu meluncur lagi dari mulutku. Mulai sekarang aku tak kan mengelak jika Mutia adalah adikku.

''Tidak apa apa kak. Mutia boleh tidur di pangkuan kakak kan? Mutia ngantuk.''

''Minum obat dulu ya, biar demamnya gak nambah parah.'' Aku mencoba membujuknya. Biasanya dia sama sepertiku jika sudah menyangkut tentang obat. Susah.

''Mutia tidak apa apa kak.''

Aku menyerah. Walaupun aku berusaha untuk memaksanya, yang terjadi selanjutnya pasti dia akan memasang wajah andalannya di hadapanku. Tanganku mengelus puncak kepalanya. Dadanya naik turun dengan teratur. Memandangnya dalam posisi tidur terlelap adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupku.

DIRTY MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang