4. Red Kiss

1.8K 43 3
                                    

Lirik Multimedia.

Purnama Putra Pratama

Mentari kembali menyapa, mengintip melalui celah. Seakan meneriakan kepada siapapun yang masih terbuai mimpi agar segera terbangun dari mimpi itu.

Sudah empat jam aku duduk di tepi tempat tidurku ini. Jujur saja, aku tak bisa tidur nyenyak memikirkan keadaan Mutia. Kalu aku mau bisa saja aku masuk ke kamarnya dan menanyakan bagaimana keadaannya, tapi sayang..... Terlalu pengecut bagi seorang Purnama!

Pukul 05.37 WIB

Aku bergegas turun, tempat pertama yang aku singgahi adalah teras rumah. Ya, biasanya aku akan mengambilkan koran yang diantarkan loper setiap pagi hari.

Ketika tanganku menggapai koran yang ada di depan pintu, mataku terbelalak sempurna. Aku menemukan kiriman aneh yang bertuliskan namaku.

Si pengirim sepertinya gila. Oh tidak-tidak, mungkin dia setengah sadar. Ya.... Mungkin dia dalam keadaan mabuk dan salah menuliskan nama.- Aku berusaha berargumen dengan diriku sendiri.

Segala pertanyaan menari-nari dalam kepalaku. Bayangkan saja, di hari yang masih amat pagi ini aku menemukan selembar kertas HVS berwarna putih. Dan lengkap dengan maha karya yang unik. Bagaimana tidak unik? Kalau diatas HVS putih itu terdapat kecupan-kecupan bibir seorang wanita dengan lipstik aneka warna.

Hah..........

Bisa gila aku.....

^^

Setelah memberikan koran ke Abi dengan satu tangan di belakang, menyembunyikan kertas HVS. Aku bergegas ke kamar Mutia untuk menanyakan masalah ini. Mungkin saja dia iseng.

Tok tok tok

"Siapa?" Tanya Mutia dari dalam kamar.

"Purnama"

Entah kenapa.... Semenjak dia pergi, aku tidak begitu yakin menyebut diriku sebagai kakak.

Selang berapa lama, terdengar suara kunci pintu di putar.

CLEK!

"Masuk kak." Ucap Mutia seraya membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkanku masuk.

Aku melirik kakinya sekilas. Masih sama. Jalan dengan terpincang-pincang.

Pasti masih sakit ya? Maaf~ Lagi-lagi kalimat itu hanya terucap dalam hati saja.

"Apa yang kakak bawa?" Tangan Mutia menunjuk kearah kertas yang aku temukan tadi.

"Ini sepertinya milikmu." Tanganku memberikan kertas HVS itu ke Mutia.

Aih~ Kenapa harus kata itu yang sukses meluncur dari mulutku? Bukankah tujuan utama aku kesini untuk menanyakannya? Kenapa terdengar seperti menuduh? Argh... Purnama bodoh! Mana mungkin ini milik Mutia, Jelas-jelas ini ditujukan dan bertuliskan namaku. Pasti seseorang mengirimkannya untukku.

"Mutia gak pernah pake lipstik, ka." Ucap Mutia seraya mengambil kertas HVS dari genggamanku. "Eh... Disini tertulis nama kakak. Sepertinya dari penggemar kakak deh." Lanjut Mutia.

"Sok tau ah kamu." Jawabku cuek. "Sepertinya si pengirim salah menuliskan nama. Atau jangan-jangan Purnama yang dia maksud bukan aku. Nama Purnama kan banyak."

"Mungkin." Ujar Mutia singkat. Sesaat kemudian dia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. "Positif. Ini dari penggemar kakak." Kata Mutia sok bener.

"Dikira artis kali punya penggemar."

Setelah mengatakan itu, aku bergegas keluar dari kamar Mutia. Rencananya sih mau nyari kesibukan, bagaimana caranya menarik diri dari sisinya. Ketika hendak menutup pintu, terdengar suara Mutia memanggil namaku.

"Kak Tama!"

Aku menoleh tanpa menjawabnya.

"Kakak mau kemana?"

"Do you care? Hah?"

Sesaat Mutia diam. Dia menatapku dengan tatapan kecewa. Entahlah, aku tak mengerti tatapan apa itu. Yang jelas ekspresi yang digambarkan wajahnya adalah ekspresi kekecewaan.

"I care! Always care! Are you know it, brother?"

Aku tersenyum miring mendengar kata yang terlontar dari bibir merah mudanya.

"I don't know! Are you sure care me?" Tanyaku dengan tangan yang terlipat diatas dada.

"I'm so sorry." Ucap Mutia dengan penuh penyesalan. Sedetik kemudian setetes air mengalir dari wajahnya.

Mutia menangis? Ya Tuhan~ Aku sudah menyakitinya.

Maaf~

"Mutia minta maaf, kak. Mutia bersedia melakukan apa saja. Asal kakak mau memaafkan Mutia." Terlihat jelas penyesalan yang tergambar dari raut wajahnya. Hah... Untung saja Abi sudah berangkat kerja. Coba kalau belum? Bisa berabe urusannya.

Aku berlalu meninggalkannya sendiri. Lebih baik aku menjauh. Berdekatan dengan Mutia membuat emosiku tak terkontrol. Lihat saja sekarang. Baru saja beberapa detik bersamanya, amarahku sudah mencapai puncak. Sejak kapan aku menjadi emosional seperti ini? Aku tahu jawabannya! Sejak Mutia kembali. Ya, sejak saat itu!

^^

Sakit itu sederhana.

Apa kau tahu?

Diam!

Biar aku saja yang merasakan!

Ya... Sakit itu sederhana.

Sesederhana keputusanmu untuk meninggalkanku. ~ Cc

^^

"Iya Abi, Mutia hari ini masuk kuliah."

Oh, ternyata Abi yang menelpon Mutia. Syukurlah~ Aku kira siapa.

Setelah menguping sedikit pembicaraan Mutia tadi. Aku menyambar kunci motor yang terletak diatas meja. Aku memutuskan berangkat lebih awal, walaupun kuliah akan dimulai sekitar satu jam lagi.

"Kakak mau kuliah?" Tanya Mutia.

"Aku berangkat ya. Kamu di antar mang Parno saja." Tak kuhiraukan pertanyaan dari Mutia.

"Aku bisa naik angkutan umum kok, kak."

Sukses! Perkataan Mutia membuatku emosiku ingin meledak. Apa dia bilang? Dia mau naik angkutan umum? Gak sadar apa ya dengan kondisi kakinya.

Oke Purnama! Kendalikan emosimu~

"Jalan pincang kaya gitu mau naik angkutan umum? Apa aku gak salah denger? Nyadar kondisi dong kamu! Pokoknya minta anter mang Parno! Kalau gak nurut lihat saja akibatnya nanti."

Maaf~ Emosiku benar-benar tak terkendali.

Mutia hanya menganggukan kepala. "Kakak hati-hati ya. Jangan ngebut-ngebut naik motornya."

^^

Jika Kau ciptakan rasa ini sedemikian rupa.

Membiarkannya terus tumbuh.

Memberikan kesempatan agar aku merasakannya.

Tanpa Kau berikan satu kesempatan.

Kesempatan meraihnya.

Kesempatan menggapainya.

Dan kesempatan untuk menggenggamnya.

Rasanya percuma.

Kenapa tidak Kau bunuh saja perasaan itu?

Perasaan yang membuatku semakin hari semakin tersiksa.

Perasaan yang menyadarkanku akan dosa.

Aku mohon...

Bunuh perasaan ini.

^^

tbc

C.A

Jum'at, 07 Februari 2014

18.30 WIB

DIRTY MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang