11. Kecupan Darah

932 36 2
                                    

Lirik Mulmed, ada si ganteng Purnama. =D

"Kakak kenapa? Kok berhenti?" Tanya Mutia seraya memalingkan wajahnya untuk melihat wajah Purnama. Rupanya Purnama tak mengindahkan pertanyaan Mutia. "Kakak..." Panggil Mutia lagi.

"Ah iya..." Purnama kembali sadar dari lamunannya.

"Kenapa? Kok berhenti?"

Purnama menunduk, tangannya meraih jemari Mutia. "Janji gak bakalan marah kalau dengar ini?" Mutia hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Bensinnya abis... " Ujar Purnama dengan mimik wajah bersalah.

"Abis. Kok bisa kak."

Purnama turun dari atas kendaraannya, ia menangkup wajah Mutia yang masih ada di atas bangku penumpang. "Inget-inget deh tadi pergi kemana aja. Dimulai dari pertama, berarti dari rumah."

"Hmmm...." Mutia terlihat berfikir. "Kita balapan, trus jalan-jalan muter-muter jakarta, trus kita berangkat ke puncak. Ini baru setengah jalan." Sembari jari telunjuknya menunjuk jalanan.

"Ada yang lupa." Ujar Purnama.

"Apa kak?" Tanya Mutia dengan wajah bingung.

"Kita sama sekali belum ngisi bahan bakar." Mutia tertawa mendengar penuturan kakaknya.

"Yaampun. Kok bisa lupa ya?"

^^

Hari semakin larut, jarum jam menunjukan pukul 22.20 WIB. Di tengah perjalanan menuju puncak Purnama dan Mutia berada sekarang. Di sebuah jalan sepi dengan jarak ke rumah penduduk desa setempat cukup jauh. Hembusan angin kian terasa menusuk tulang. Dingin. Sunyi sepi. Seperti itulah keadaannya. Berdua dengan motor mogok. Bahkan ketika mogok seperti ini rasanya lebih baik berjalan kaki jika harus mendorong kuda besi yang tak berguna.

"Sebaiknya kita bermalam di sini saja. Jarak menuju puncak masih jauh. Kamu juga pasti kelelahan jika harus mendorong kendaraan ini." Purnama mencoba memberitahu Mutia. Dia akan lebih senang jika Mutia duduk di belakang kemudi dan biarkan ia yang mendorongnya.

"Gapapa kak, Mutia masih kuat kok." Selang berapa lama. "Haaacciimmm..." Mutia menggosok batang hidungnya yang mulai memerah.

"Masih berani bilang gapapa, hm?" Purnama merengkuh tubuh mungil itu kedalam pelukannya. "Kau kedinginan. Sini tanganmu, biar ku hangatkan." Kemudian ia menggosok-gosokan tangannya dan tangan Mutia dengan sesekali ia meniup tangan Mutia. "Bagaimana?"

"Ini jauh lebih baik." Mutia tersenyum. Mereka berada dalam jarak yang begitu dekat, tak ada sekat maupun penghalang apapun untuk saat ini. Setidaknya sampai beberapa detik. Biarkan umat-Mu yang berdosa itu bahagia sejenak.

Mereka terduduk diatas rerumputan berembun. Jaket Purnama sudah bertengger di tubuh Mutia. Ia peluk tubuh itu. Berusaha agar pemilik tubuh merasa sangat nyaman berada bersamanya. Dan ia akan pastikan tak ada yang memberikan kenyamanan seperti apa yang ia berikan untuk gadisnya saat ini.

"Aroma tubuh kakak bisa menenangkan. Pelukan kakak juga lebih hangat dibandingkan pelukan Abi." Celoteh Mutia.

"Ah ya? Sudah lama rasanya tak menikmati pelukan Abi." Mata Purnama menerawang jauh. Ia merasa hubungan dengan Ayahnya tak seharmonis dulu. Setidaknya sebelum kepergian Mutia waktu itu.

Hening untuk beberapa saat. Hingga tangan Mutia menyentuh tubuh Purnama tepat di jantungnya. Purnama Mulai gugup. Sepertinya ia tahu detak jantung Purnama berpacu tak seperti biasanya. Terlalu cepat. Bertalu-talu. Dan ritmenya tak beraturan. Perlahan Mutia semakin mendekatkan wajahnya ke dada bidang itu. Menyimpan telinganya disana. Agar ia memastikan bahwa apa yang ia dengar tidak salah.

DIRTY MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang