"Makasi ya udah ngizini aku nebeng" ucapku begitu turun dari motor Angkasa.
Angkasa mengacak lembut rambutku. "Masuk, gih"
Aku nyengir lebar dan mengangguk. "Iya. Aku duluan, ya"
Angkasa tersenyum hangat. Aih, manisnya Angkasaku. Jadi makin cinta deh. Centil.
"Angkasa," tiba-tiba seorang cewek menghampirinya.
Siapa?
Angkasa tersenyum lebar. "Hai,"
Cewek cina itu tersenyum tipis. "Ada waktu?" tanyanya.
Ish, siapa sih?
Angkasa melirik arloji dipergelangan tangannya dan mengangguk. "Lima belas menit, cukup?"
Cewek itu tertawa pelan. "Banget,"
Aku menatap Angkasa dan cewek itu bergantian. Berbagai pertanyaan mulai berseliweran dipikiranku.
Cewek itu siapa? Ada hubungan apa sama Angkasa?
Pacarnya? Nggak. Nggak mungkin Angkasa punya pacar. Tapi kalau pun beneran Angkasa punya pacar, itu nggak bakalan aku biarin!
"Gue duluan ya, Na" ujar Angkasa membuyarkan pikiranku tentang mereka.
"Eh," Aku tersenyum kikuk. "I-iya. Aku juga mau masuk. Hehehe..."
Aku melirik cewek itu. Dia tersenyum tipis dan mengangguk sedikit. Kayak di pilem-pilem korea yang sering di tonton kak Melo deh.
"Kami duluan ya"
Aku mengangguk kikuk. "I—iya"
Keduanya pergi dari hadapanku. Tapi aku masih saja berdiri disini dengan beribu pertanyaan yang bergelantungan dipikiranku. Sampai kemudian terdengar suara yang paling nggak pengen aku denger saat ini tiba-tiba mengusik.
"Siapa tuh?" tanyanya yang entah sejak kapan berdiri disebelahku.
Aku memutar bola mata malas. "Siapa? Mana?" tanyaku pura-pura nggak tau.
"Itu yang jalan bareng Angkasa"
Aku mengangkat bahu tak acuh. "Mana gue tau. Tanya aja sono,"
"Cakep ya. Cocok ma Angkasa"
Ish. Apaan sih ni orang?
Lagi-lagi aku mengangkat bahu tak acuh. "Bodo,"
"Tapi tenang aja. Lo tetap yang paling..." Nimo menatapku tepat dimanik mata. "... sweet"
Sontak aku melotot lebar. Dengan sekuat tenaga aku menginjak kakinya dan menjambak-jambak rambutnya penuh emosi. Rasain!
"GUE BENCI BANGET SAMA LO. LO TUH MONYET SIALAN YANG SELALU BIKIN GUE SIAL TAU NGGAK!"
"LO TUH, SEHARI AJA NGGAK GANGGU GUE BISA? GUE SEBEL. GUE MARAH. GUE JENGKEL. SEENAK JIDATNYA AJA LO NYI—"
Refleks aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Hampir saja aku keceplosan. Dan gara-gara kebodohanku, sekarang kami jadi bahan tontonan mahasiswa lainnya.
Sementara si Nimo hanya meringis sesaat dan menatapku dengan satu alis terangkat.
"Nggak diterusin?"
Wajahku memerah dan jantungku berdetak ngga karuan saking jengkelnya. Sabar, sabar, orang sabar disayang Tuhan. Aku membuang muka tak mau melihatnya.
"Udah marah-marahnya?"
Aku tetap saja diam.
"Masuk, gih" Nimo merapihkan poniku yang berantakan.
Setelah mengatakan itu, Nimo berlalu meninggalkanku dengan santainya. Aku cuma bisa cengo' melihat tingkah ajaibnya.
Ada apa dengannya? Kurang sajen? Atau kesambet?
Nimo aneh. Emang super duper aneh tingkahnya. Susah ditebak. Selain demen bikin aku kesel, dia juga juaranya bikin aku bingung dunia akhirat!
———
Hujan diluar sangat deras. Anginnya juga lumayan kencang dan petir terdengar bersahut-sahutan.
Aku bolak-balik melirik jam dinding. Menunggu kepulangan kedua kakakku. Tapi hampir jam sembilan begini tak ada tanda-tanda mereka akan pulang.
Berkali-kali aku menelpon ke ponsel mereka masing-masing. Namun yang menjawab hanya suara dari si operator.
Punya kakak dua kok alaynya minta ampun. Awas aja, ntar bakal aku aduin sama papa karena udah ninggalin adiknya yang cantik jelita ini sendirian malam-malam dirumah.
Untungnya cuma hujan petir, kalau mati lampu gimana? Bisa-bisa aku mati kutu sendirian dirumah.
Entah berapa kali aku mengganti channel tv. Siarannya tak satupun yang menarik. Kebanyakan acara yang ditayangkan tak mendidik dan film tak masuk diakal semua.
Tiba-tiba saja lampu disemua ruangan padam. Refleks aku memeluk bantal erat-erat. Sumpah, aku paling takut kegelapan dan itu bikin sesak nafas.
"Ya Allah. Lindungilah Nana yang imut-imut ini dari godaan syaithon yang terkutuk lagi jelek"
Tanganku tergerak cepat menghubungi kembali kedua kakakku. Namun lagi-lagi hanya operator yang menjawab.
Ya Allah. Aku mesti minta tolong siapaaa?
Ah iya, Angkasa.
Buru-buru aku mendial nomor Angkasa. Tapi sayang, kali ini aku benar-benar bernasib apes, lagi-lagi operator yang menjawab. Pada kemana sih?
Ditengah-tengah kegalauanku, tiba-tiba bel berbunyi dengan hebohnya. Aku nggak berani bergerak sedikitpun dan memeluk bantal kursi erat-erat.
Ting nong. Ting nong.
Eh. Siapa sih?
Ting nong. Ting nong.
Apa mungkin kak Melo dan kak Ecy? Tapi kalau orang jahat gimana? Sepintar-pintarnya aku karate tapi kalau lawannya maling bersenjata tajam bakal tewas juga.
Ting nong. Ting nong.
Duuuh. Siapa sih?
Akhirnya aku memilih bangkit dari duduk dan berjalan pelan-pelan menuju pintu dengan penerangan seadanya. Begitu sampai didekat pintu, aku mengintip sedikit dari celah jendela.
Eh? Cowok?
Dengan segala keberanian yang ada akhirnya gue memutuskan untuk bertanya.
"SIAPAAA??"
"GUE"
Gue? Gue siapa? Kok suaranya mirip Nim—
"GUE NIMO. BURUAN BUKA PINTUNYA ELAAH"
Hah. Nimo.
Entah kenapa untuk saat ini aku merasa aman mendengar suaranya. Secepat kilat aku membuka pintu dan detik itu juga suara petir menyambut dengan kerasnya.
JDARRR!!!
Refleks aku menerjang Nimo dan memeluknya erat. Diantara derasnya suara hujan yang turun, aku bisa merasakan detak jantung yang tak karuan.
Aku nggak tau itu suara jantung siapa. Yang aku tau, sekarang aku benar-benar takut dan bersyukur banget karena Nimo datang kali ini.
———
KAMU SEDANG MEMBACA
Banana
Teen FictionNana sayang Nimo. Nimo sayang Nana. Itu... DULU! SEKARANG, Nana benci banget sama Nimo. Itu semua gara-gara Nimo merobek-robek surat cinta yang mati-matian dibikin Nana untuk Nimo. Nana bersumpah bakalan dapatin pengganti yang lebih dari Nimo. Da...