Banana -15

7.2K 891 34
                                    

Begitu dosen keluar dari kelas, aku bergegas memasukkan diktat-diktat dan alat tulisku yang berserakan diatas meja kedalam tas.

"Lo pulang sama siapa?" tanya Ery.

"Kayaknya naik taksi"

"Kenapa nggak nebeng sama Angkasa aja sih"

"Nggak ah. Gue nggak mau nyusahin Angkasa lagi"

Ya. Mulai detik ini aku belajar buat mandiri. Bahkan dari dulu aku juga sudah mandiri. Makan sendiri. Mandi sendiri. Eh?

"Untuk sekarang lupain deh niat lo itu,"

"Niat gue udah bulat. Nggak bisa diganggu gugat lagi"

"Tapi kaki lo kan masih sakit, Na. Plis deh, jangan keras kepala"

Aku menarik pipi Ery dengan gemas. "Kaki gue cuma sakit. Bukan copot,"

"Iih. Apaan sih, Nana. Sakit tau,"

Aku cuma memeletkan lidah. "Biarin,"

"Apa perlu gue suruh Nimo nganterin lo?"

Pergerakanku yang hendak memakai tas seketika terhenti. Aku menatap Ery dengan tajam. "Coba aja. Kalo lo emang mau persahabatan kita putus"

Ery membulatkan mata tak percaya. "Ih. Kok elo gitu sih?"

"Ya, terserah"

"Ini kan buat kebaikan lo sendiri, Na"

"Iya. Buat kebaikan kaki gue. Tapi nggak baik buat kesehatan jantung dan hati gue"

Ery bungkam seketika.

"Nana," seseorang menginterupsi keadaan yang hampir canggung ini.

Aku menoleh dan seketika senyumku mengembang. Diambang pintu, Hansa tengah berdiri dengan cengiran lebarnya.

"Gue duluan ya," pamitku ke Ery.

Ery mengangguk. "Hati-hati, Na. Gue sayang sama lo"

"Gue juga sayang sama lo,"

Setelahnya aku segera menghampiri Hansa dengan langkah tertatih. Untungnya sahabatku yang satu ini bisa di andalin.

Seandainya hatiku bisa berpaling. Maka pilihanku jatuh pada Hansa. Sayangnya, hati ini benar-benar belum siap berpaling dari satu nama yang sudah lama tertahta.

Dan aku belum siap kena amukkan kak Ecy. Jauh-jauh hari aku juga tau, kalau kakakku yang satu itu cinta sama Hansa. Hanya saja terlalu gengsi karena umur mereka yang terpaut enam tahun.

"Udah baikan?" tanya Hansa.

"Lumayan laaah"

Hansa mengalungkan lengan kirinya dileherku dan menjitak pelan dahiku. "Bandel,"

"Biarin,"

"Udah makan?"

Tuh kan... Hansa perhatian ya?

"Traktir,"

"Nggak bisa" ujarnya santai.

"Kenapa?"

"Bokap lo udah nunggu diparkiran,"

Langkahku otomatis berhenti. "Bokap gue?"

"Iya. Makanya gue jemput lo ke kelas. Kalo nggak gue malas"

"Kurang ajar," kataku sambil mencubit tangannya.

Hansa melepaskan pelukannya dileherku dan mencoba berkelit. Alhasil, terjadilah aksi kejar-kejaran itu.

BananaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang