Banana -14

7.5K 734 29
                                    

Aku mengayuh sepeda dengan kencang sambil sesekali mengomel. Aku nggak perduli dengan kakiku yang makin nyut-nyutan. Hati ini lebih dari sakit dan lebih dari nyut-nyutan!

"Dasar monyet! Tukang PHP! Sok kegantengan! Mesum!"

Aku kesal. Aku jengkel. Aku sebal. Aku marah. Aku emosi. Aku cemburu!

Hah?

"Nggak. Gue nggak cemburu. Ini hati suka sembarangan ngomong. Gue ganti juga lo lama-lama!"

Kalau aja perasaan itu kayak file yang bisa dihapus. Bakal aku hapus permanen!

Aku pikir dengan belajar menyukai Angkasa, aku bisa ngelupain bayang-bayang Nimo. Tapi nyatanya, bayang-bayang Nimo benar-benar setan, menghantuiku terus.

Dan perasaanku sama Angkasa cuma napsu semata. Napsu bikin Nimo cemburu, tapi yang ada aku malah terjebak dalam permainan yang aku ciptain sendiri.

"Sedih banget sih hidup gue. Hiks"

Eh?

Kok sepedanya nggak bisa di rem ya? Aduh, mati aku. Gimana ini? Masa iya aku kudu lompat. Siapapun tolong aku!

"WOI. BANANA. MAU KEMANA LO?" teriak Hansa yang barusan kulewati.

"REMNYA BLONG PEAK!" balasku tak kalah kerasnya.

Aduh. Mati!

Kayaknya aku benar-benar harus lompat deh. Lagi-lagi dewi kesialan berpihak padaku. Tabrakan sengaja itupun akhirnya tak bisa dielakkan lagi, dan... terima kasih pohon!

Grubaakk!!

Dengan indahnya aku tercampak diatas rumput dan sepedaku tergeletak mengenaskan. Sekali lagi terima kasih pada pohon yang sudah rela gue tabrak.

"Lo bisa naik sepeda nggak sih, tung?"

Sedetik...

Dua detik...

Tiga detik...

Dan—

"Hueeeeee" aku menangis sejadi-jadinya.

Hansa yang tengah berjongkok disebelahku yang tengah tergeletak tak berdaya ini sampai terbengong-bengong.

"Hueeee. Kak Ecy. Hueeee. Kak Melo"

Hansa menggaruk-garuk tengkuknya yang aku jamin itu nggak gatal sama sekali. Dia menatapku kebingungan dan mulutnya cengap-cengap seperti ikan kekurangan air.

"Hueeee. Hansaaa"

"I—iya. Duuh, jangan nangis dong,"

Kalau aja posisiku nggak indah begini, dijamin aku pasti ngakak melihat ekspresi bloonnya.

"Makanya bantuin gue, peak. Hueee,"

Hansa mendengus sebal. "Nyusahi aja lo," katanya sembari membantu gue bangkit dari posisi mengenaskan ini.

"Lo kenap—"

"Hueeee," lagi-lagi aku menangis histeris seraya memeluknya erat.

Hansa mendengus. "Jangan suka sembarangan. Ntar kalo gue jatuh cinta sama lo gimana?"

"Bodo,"

"Tapi kalo dipikir-pikir. Gue nggak bakal mau punya bini sembrono dan bodoh kayak lo,"

Dengan kekuatan super aku menggeplak punggungnya keras. Omongannya suka nggak disaring dulu, sama persis kayak monyet sialan yang satu lagi.

"Ini nih yang bikin cowok nggak mau deket sama lo. Lo tuh kasar, nyebelin, jengkelin, bawel. Lo juga cengeng"

Deg!

BananaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang