Baru saja memasuki rumah, aku mendengar suara keributan di ruang keluarga. Aku yang baru sehabis berbelanja di pasar segera menuju tempat keributan terjadi.
Dengan perlahan dan mengendap-endap bak detektif, aku mengintip dari ambang pintu. Terlihat tiga orang tengah tertawa sambil bernyanyi riang.
Ada pria tampan disana, tengah memangku gitar akustik dipahanya. Jemarinya dengan lentur memetik senar sehingga menghasilkan irama yang merdu. Sedangkan dua anak kecil di hadapannya menyanyikan lagu 'Bintang Kecil' sambil terkikik. Terlihat sangat menggemaskan.
"Bintang kecil di langit yang bilu... amat banyak menghias angkaca... aku ingin telbang dan menali... jauh tindi di tempat kau belada..."
Suara dua anak kecil itu sungguh membuatku gemas. Tanpa sadar, air mataku tumpah. Aku terharu melihat tiga orang yang sangat ku sayangi bahagia. Bercanda, bernyanyi, tertawa bersama seperti itu.
"Mama!"
Aku hampir saja terbentur pintu saat sebuah seruan menyentakkanku. Ternyata suara dari anak kecil dengan rambut pendek sebahu. Dia berlari, menarik jemariku agar masuk ke dalam dan ikut bergabung dengannya.
"Mama kok nangis?"
Itu pertanyaan yang dilontarkan si bungsu, Bastian, saat melihatku menghapus bekas air mata tadi yang menetes dengan sendirinya.
"Apa? Mama tidak menangis, sayang. Tadi Mama kelilipan," ujarku berbohong.
"Mari kita nyanyi lagi," ajak pria bertubuh atletis itu.
Aku dengan riang mengikuti mereka bernyanyi. Walaupun suaraku jelek, tetap saja aku bernyanyi dengan keras.
"Cukup. Suara Mama jelek," ejek Bryan.
Senang sekali rupanya dia membuatku naik darah.
"Jelekan mana sama suara kamu?" tantangku dengan dagu terangkat.
Dia tertawa sebentar, "ya, jelekan suara kamu lah," ujarnya bangga penuh kemenangan.
Si sulung, Bella dan juga Bastian yang melihat kami beradu mulut terlihat bengong. Seakan-akan mereka tak tahu apa. Hanya duduk manis, diam dengan wajah polos tak berdosa dan menyaksikan secara langsung adegan bertengkaran antara Papanya dan Mamanya.
"Mama sama Papa kenapa ribut, cih?"
Bella yang sudah tak tahan dengan suara berisik yang ku perbuat akhirnya bertanya.
Aku nyengir menghadapnya, "Mama sama Papa lagi berdiskusi, sayang. Kalian boleh main di ruang tamu sambil menunggu kami," suruhku.
Mereka mengangguk, lalu berjalan bersama keluar ruangan. Setelah itu, aku melanjutkan protesku pada Bryan.
"Kamu itu keterlaluan. Masa di depan anak kita dengan lantangnya kamu mengejekku? Kan aku jadi malu, Kak!"
Bryan yang melihatku dengan mata membara hanya diam seribu bahasa.
"Kak, bicara, dong! Masa aku saja yang mengomel sejak tadi?"
Dia tertawa. Entah apanya yang lucu sehingga dia tertawa, aku gak tahu.
"Kenapa tertawa, hah?"
"Kamu lucu, Berlian. Setiap marah pasti kau menyebutku Kakak," godanya.
"Bryan!"
Aku hendak bangkit, menyusul bocah-bocah menggemaskan itu ke ruang tamu. Namun, Bryan dengan cekatan mencekal tanganku.
"Ngambek, nih?"
Aku tak menggubrisnya. Aku memainkan jemariku sambil menunduk malas.
"Berlian, lihat aku, dong," pintanya agak memaksaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERLIAN
Teen Fiction[ COMPLETE ] Aku Berlian. Aku adalah cewek yang biasa-biasa aja kayak kalian semua. Gak ada yang spesial dalam diri aku. Aku mencintai seseorang yang bahkan gak mungkin mencintaiku balik. Orang itu, kakak kelasku. Orang itu tampan, pintar, dan juga...