piazza navona

2.1K 101 3
                                    

hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making.

.

seborga/monaco. au.

.

.

Aku masih jatuh cinta pada pemuda itu. Yang memangku sketsa, tangannya lincah membuat sebuah kenyataan dari pikirannya, dan lupa bahwa dia tak punya lagi minuman hangat untuk sore ini, dua puluh tiga November yang dingin, di atas bangku Piazza Navona yang mulai ramai, pukul enam lewat tiga.

Sore ini kami bertemu karena takdir. Takdir, takdir. Takkan kusebutkan ini kebetulan. Istilah itu terlalu manusiawi; aku ingin yang sedikit supernatural untuk prasangka-prasangkaku. Semua yang kita lakukan sebenarnya hanya keping-keping domino yang berjatuhan lalu membuat A menjadi B, B menjadi C, itu saja. Kita diberi kekuatan untuk sesekali menghentikan baloknya, namun seringkali kita harus membiarkannya jatuh begitu saja. Kekuatan kita tak sampai, bisa jadi, namun seringkali seorang manusia bisa membuat beberapa domino berdiri lagi.

"Hei." Aku duduk di sampingnya.

"Oh, hai." Rambutnya sedikit berantakan. Syalnya longgar. Tapi tanganku bukan untuk memperbaikinya. Ada yang lebih penting.

"Kopimu sudah dingin, aku yakin." Kusodorkan tehku yang masih panas. Teh, benar, tidak ada yang salah. Aku membawa termos kecilku sendiri dan membuat minumanku sendiri untuk berjalan-jalan.

"Kau pasti mengamatiku dari tadi, hm?" dia tak menerima minuman dariku.

Aku terkekeh sambil menarik lagi termosku. Kadang aku lupa dia punya beberapa preferensi khusus dalam minuman. Pilihan-pilihan itu kadang tak menentu waktu munculnya. Dia bisa minum kopi lalu satu jam kemudian dia mabuk teh. Aku tidak menghafalnya. Semuanya masuk ke kepalaku secara perlahan dari tahun ke tahun.

Navona semakin ramai. Aku melihat semakin banyak pasangan. Fiorenzo semakin sibuk dengan gambarnya. Bagian rambutnya yang mencuat turun sedikit, sepertinya ikut menonton tangannya menggambar juga.

Sekali lagi, aku masih jatuh cinta pada pemuda ini. Yang menganggap bahwa sketsa dan pensil adalah separuh hidupnya. Yang berarti bahwa aku harus mencintai dunianya juga.

Fontana dei Quattro Fiumi di atas kertasnya. Dia menuangkannya dengan begitu mudah.

"Punya janji dengan seseorang, ya?" Fiorenzo mengangkat kepalanya lalu menoleh padaku. Tangannya istirahat sebentar.

"Tidak juga. Aku hanya jalan-jalan. Agak suntuk di akhir pekan ini."

"Hmm." Dia menggambar lebih banyak detil. Agak bermasalah di perspektif, sedikit, tapi dia telah berusaha keras.

"Mau teh?"

"Eh, boleh," dia meletakkan pensilnya. Lalu mengambil termos dari tanganku setelah mendapat persetujuan lewat mataku. Bertaruhlah, dia tadi tidak mengerti isyaratku berupa termos yang disodorkan. Dia memang begitu. Kadang mudah dibaca, kadang kita tak tahu apa-apa karena sifat santainya-ketika kita mengira dia memikirkan Z namun sebenarnya dia tak tahu Z itu apa.

Dia lupa kopinya. Kuambil gelas di antara kami lalu kuguncang. Seperempat, tapi tak punya pesona lagi. Dingin dan terlupakan. Kukembalikan ke tempat semula lalu kuabaikan.

"Minggu depan, apakah kau sibuk?" dia buka suara setelah menutup kembali termosku.

"Oh," aku mengerjap. "Ada apa?"

"Aku dan yang lain akan pergi ke Alpen Italia. Kalau cuaca memungkinkan, kami akan mendaki beberapa ratus meter, atau ribu. Ikut?"

Aku membuka mulut sebentar namun tidak jadi kukatakan. Haruskah kubilang bahwa aku punya janji untuk panggilan video bersama teman dunia mayaku dari Swiss sana? Dunia dia begitu terbuka dan terbentang, nyata juga tiga dimensi, aku mendadak minder karena aku hanya mengetahui banyak hal lewat kumpulan teks dan gambar di layar. Dia membuka dirinya dan tahu dengan mata, seluruh kepala, dan nalurinya sendiri. Pernah kulihat dia mendaki gunung di daerah tropis, tempat pamannya mengepalai suatu badan konservasi, kurasa di Indonesia atau daerah Amerika Latin, dan dia kelihatan bahagia di puncaknya sambil bertopang pada tripod untuknya memotret. Aku? Aku meraba semua yang kulihat, benar sekali, namun semuanya tak nyata. Aku petualang tangan ketiga, hanya mengetahui dari cerita orang lain.

Aku ingin sekali ikut-tetapi aku memenangkan janji dengan kawan lamaku itu. Lagipula ... aku tidak yakin aku bisa benar-benar ikut dengannya dan teman-temannya. Aku barangkali bisa saja cocok dengan mereka, namun aku merasa begitu aneh jika aku ikut dengannya. Kami punya jarak yang stagnan selama bertahun-tahun, aku takut aku akan menjadi terlalu banyak berkhayal tetapi kenyataan tak mau berkata hal yang sama.

"Mungkin lain kali."

"Baiklah."

Aku memandangi caranya berkarya. Dia bisa menciptakan dunia tiruan di atas sana, dengan jemarinya yang panjang dan lentik serta penuh berkah itu. Aku bersandar. Jalinan rambutku, keduanya, kusampirkan ke depan. Kutelusuri alur-alurnya. Cacat sedikit, ketika kuperhatikan dengan kacamata yang kunaikkan.

"Boleh aku duduk di sini lebih lama lagi?"

"Tentu saja."

Ketiga kalinya, aku masih jatuh cinta pada pemuda ini. Kawanku yang hilang, pergi, datang dan kembali dengan caranya sendiri ke dalam hidupku.

Aku masih jatuh cinta padanya.


masihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang