prairie

125 21 3
                                    

hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making.

.

.

seborga/monaco. au.

.

.

Aku menutup mata dan menemukan hijau, hijau, hijau. Cukup ajaib karena di balik seluruh hasrat akan salju dan puncak-puncak runcing berselimutkan putih-putih, aku malah menemukan padang rumput di dalam memoriku sendiri.

Francisco bernyanyi. Cukup berhubungan dengan imaji padang rumput, dan suara lembut tetapi tegas dan beratnya itu cukup boleh juga.

Padang rumput; aku masih mengingat sesuatu tentang itu. Tentang tugas seni di sekolah dasar, dan lukisan dari pensil warna yang berupa rerumputan yang luar biasa panjang dan sebuah pohon yang luar biasa pendek. Betapa proporsi yang sangat dramatis. Selera seniku tak buruk, begitu kata guruku, tetapi dia bilang aku harus lebih banyak memperhitungkan meski bukan untuk pelajaran matematika.

"Mon."

Masihlah di sini berada seorang perempuan usia belasan yang mengharap diperhatikan terus-terusan. Orang bilang bahwa menjadi dewasa adalah ketika seorang manusia berhasil mempertahankan dirinya sendiri tanpa merasa terganggu dengan argumen orang lain, dan, ya, aku merasakannya—tetapi diriku yang sekarang dibentuk oleh gadis kecil yang jatuh cinta dan banyak berharap, dan dia tidak mati.

"Mon."

Kubiarkan agak lama sedikit lagi sampai terdengar suara,

"Sepertinya dia benar-benar tertidur."

Itu Lovino.

"Ya sudah. Angkat saja dia ke kamar," tambahnya lagi.

Aku benar-benar menahan diri untuk tidak membuka mata--tetapi aku tiba-tiba berprasangka aneh dan kubuka mataku—    jangan-jangan mereka mengerubungi dan Fiorenzo berada di tempat yang agak jauh?

Aku menjebak diriku sendiri.

"Yah, dia sudah bangun. Hei, Mon, perlu kuantarkan ke kamar?"

"Uh ...," aku mengusap mata dan mengerjapkannya cepat. "Aku tidak benar-benar ingin tidur sebelum kalian memutuskan sesuatu."

"Eh, sungguh, tidak apa-apa, tidurlah kalau benar-benar capek. Mereka juga bilang tidak mungkin akan melanjutkan perjalanan malam ini juga."

Kadang ada hal-hal yang perlu disesali, tetapi, yah, gilalah manusia akan segala masa lalunya jika hanya memusatkan pikiran pada soal penyesalan. Mungkin kadang kita harus belajar masa bodoh.

Walaupun, ya, dibawa oleh Fio ke dalam kamar, apapun caranya—digotong, diseret atau digendong—adalah kesempatan yang sayang sekali sudah kulewatkan.

"Aku tiba-tiba kepikiran." Fio turut bersandar di tembok di sampingku. Aku bisa melihat gurat halus pada kulitnya, lengan bajunya digulung hingga lewat dari siku. Sesekali aku harus disadarkan bahwa menyentuh yang bukan milikku bukanlah suatu hal terbaik yang bisa dilakukan seorang gadis. Dan aku tidak bisa menuntut berlebihan atas hal itu.

"Apa?"

"Padang rumput. Ah, aku ingin ke Swiss lagi."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum miring, "Musim dingin pun baru berjalan, Fio." Dan kurasa, kebetulan adalah juga keping-keping penyusun dunia yang tak terlihat. Walaupun dua pikiran tersambung atas nama kebetulan ... entahlah, aku harus senang, kah?

"Aneh, ya, memang, tapi aku benar-benar ingin merasakan musim semi Swiss lagi. Oh, atau Halstatt! Meski Wina cantik, aku masih lebih suka Halstatt."

"Kau juga sering ke Austria?"

"Tidak juga. Baru tiga kali. Duanya ke Halstatt," Fio berkata sambil mengangkat bahu.

"Mmm."

Kubiarkan dia diam, dan aku mulai mengantuk.

Aku ingin melihatnya sebagai yang mengantarkanku pada tidur singkat berikutnya, ternyata dia sedang memandang padaku.

"Ayo ikut bersamaku musim semi nanti."

Kebetulan ini bukan gila. Hanya saja, diriku terlalu kecil untuk menampung keluarbiasaannya.

Entah dia mendengar suara mengantuk ini atau tidak, "Aku akan menemanimu." Dengan senang hati, Fio. Dengan senang hati.

"Baiklah. Sebelum itu, mari kutemani dulu kau ke kamar. Yuk." Ia menepuk bahuku dan mendorong halus punggungku ketika aku berdiri.

Masih terasa hangat sekali.

masihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang