hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making..
.
seborga/monaco. au.
.
.
Akhir minggu kali ini (jauh) lebih panjang, dan aku mendapat bonus sehari. Hanya bekerja dari Senin hingga Rabu, tidakkah dunia jadi lebih indah dari biasanya?
Aku sudah punya beberapa rencana. Satu-dua kali membuat janji dengan Fio mungkin tak buruk, jika ia punya waktu.
Tapi sepertinya, tidak menceritakan kisah pribadiku pada kedua orangtua, atau minimal salah satunya, adalah suatu kesalahan yang kubuat.
Tanpa tahu intensi pribadiku, mereka berdua menyuruhku pergi dari kota dan menyusul mereka yang belakangan ini lebih senang berdiam diri di rumah kecil kami di Athena.
"Tapi aku ingin tetap di sini," aku mencoba membantah, sehalus mungkin, walau kurasa caraku tetap buruk. "Ayolah, ada ... ada janji!" Walau aku belum membuatnya. Ah, berdosalah aku.
"Hanya dua hari, ya? I'll bring you to a surprise trip," ibuku menjawab dengan bahasa Inggris yang tak begitu nyata dialeknya.
"Ayolah ...."
"Ayolah ...," tirunya. Dan cara ini selalu membuatku meluluh. Bagaimanapun, dia ibuku.
.
Tak memberitahukan pada Fiorenzo juga merupakan hal yang salah bagi nuraniku. Bagaimanapun, naluri minta dicari itu selalu ada. Kadang aku takut merasa tak wajar—tapi dunia untuk orang jatuh cinta selalu berputar seperti itu, 'kan?
Aku hanya mengobrol basa-basi padanya soal long weekend, menanyakan jadwalnya, sekaligus bercerita tentang rencana orangtuaku.
Dia hanya bilang oh. Tapi dia bertanya waktunya—setidaknya aku cukup tersanjung.
Dan ia bilang, ia akan jadi backpacker ke Napoli.
Baiklah, lagipula kami sudah punya Alpen.
.
Bandara ini, lagi. Kadang-kadang aku bertanya mengapa mereka menamainya Da Vinci; bukan berarti aku tak suka—padahal mungkin bisa saja mereka mencari nama legenda Roma yang lain.
Namun, bukan itu yang seharusnya mendapat perhatian.
"Aa, di sana kau rupanya! Mon!"
Lihatlah laki-laki yang datang dengan berlari itu.
Aku mencoba tertawa kecil senatural mungkin. "Mengantarku? Romantis sekali."
Ia tertawa juga. "Romantis itu menyenangkan."
Kami berpandangan. Sekejap, dua kejap.
"Tidak apa-apa kalau aku jadi romantis?"
"Mengapa tidak?" kutanya balik sambil mengangkat bahu.
"Oke." Ia menepuk bahuku begitu saja. "Jangan lupa pulang, ya."
"Menungguku?" aku mencoba bercanda.
"Tentu saja."
Aku mengharapkan itu, tetapi aku tetap saja ... terkejut.
"Untukmu, apa yang tidak?"
"Baiklah," senyumnya. Manis dan segar. "Aku suka menjadi romantis untukmu—tapi cepatlah pulang."
Aku menjadi patung. Tapi Fio malah tersenyum lagi, hingga terkekeh seperti anak kecil.
"Sampai jumpa."
Aku mencibir halus sambil mengeratkan genggaman pada koperku. "Seolah pacarku saja."
Ia mencubit hidungku. "Mulai sekarang, ya."
Aku menepis tangan itu.
Kami tertawa,
dia menungguku.
Aku akan pulang untuknya.
Secepatnya.
.
.
.
.
.
a/n: guess that i'll end this ... here?
ada catatan dari saya di chapter terakhir.
