hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making..
.
seborga/monaco. au.
.
.
.
Aku bermimpi menemukan fotonya dalam sebuah kotak. Memang takkan mungkin berarti apa-apa; semua itu hanya penyatuan dari keping-keping puzel alam bawah sadar.
Namun aku tiba-tiba terpikir sesuatu, ketika aku tersadar di pukul tiga pagi dan melihat wajahnya yang tertidur pulas di luar kamar. Aku tidur di lantai kamar, sementara Fio dan yang lain menyusun diri mereka di ruang tengah tanpa kesepakatan. Posisi Fio berada lebih tinggi daripada Feli di hadapannya, wajahnya hampir satu garis lurus denganku. Aku semakin tenggelam dalam kubangan pikiran yang seperti lumpur ini.
Kotak. Kurungan. Bagaimana jika seandainya ... dengan cintaku ini—aku malah membuat orang lain seperti berada dalam kotak. Terkurung empat sisi ditambah dua.
Aku berusaha keras memejamkan mata.
.
"Katanya, kau masih jatuh cinta?"
Aku menelan ludah. Menaikkan kacamata lagi dan lagi. Teh di tutup termos ini jadi terasa aneh. "Kau masih mengingatnya. Ayolah, Fio." Aku memutar bola mata. "Omong-omong ...," aku menoleh ke samping, bahkan belakang. "Ke mana yang lain?"
Fio memberi isyarat seperti gerakan saat menekan tombol kamera.
"Oh. Nanti kau yang harus memotretku."
Fiorenzo mengambil cangkir kecil dan menuangkan teh buatanku. Ia memicingkan mata ke arah jendela. Setelah meletakkan cangkirnya lagi, ia semakin mengerutkan kening. Ia mengarahkan tangan, membingkai jendela dengan jarinya.
"Siapa yang dulu membangun rumah ini, sih?" Ia menoleh dan memastikan. "Rumah ini ... sudah jarang dihuni. Jarang mendapat sinar matahari pula. Jendelanya salah taruh. Aku tidak suka rumah yang terisolasi dari cahaya matahari. Tidak sehat."
Tehku habis. Fio menambahkan untuk dirinya sendiri.
"Tapi bukankah karena jarang dihuni, jadinya tidak apa-apa tanpa cahaya matahari?"
"Banyak hal mengerikan yang bisa berkembangbiak dalam kegelapan. Kuman, jamur, ha ha ha," ia menaik-turunkan alisnya seperti bermain-main. Tawanya seperti mengejekku.
Aku mengalah sambil pura-pura cemberut.
"Sinar matahari itu seperti cinta yang mengisi semua yang dikurung di sini," kelakarnya sambil menuangkan teh, disusul oleh tawanya yang sungguh renyah.
Ah. Ya. Aku mengerti sesuatu.
Aku ...
... mengerti.
"Mon."
"Ya?"
"Jatuh cinta pada siapa?"
Sial, dia masih mengingatkannya. Bisakah lukisan Van Gogh di depan sana membuatnya lupa? Sayang sekali aku lupa banyak hal tentang Van Gogh dan Starry Night-nya—aku tidak bisa melakukan apapun untuk mengalihkan pembicaraan. Lantas, aku tertawa kecil, menyerah. "Kau akan mengerti. Nanti."
