binary star

266 36 2
                                    

hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making.

.

.

seborga/monaco. au.

.

.

.

Pernah suatu waktu, aku bertanya-tanya saat memandang langit,

mengapa tidak ada bintang yang bertautan satu sama lain jika dilihat dari Bumi?

Aku menjawab asal-asalan; karena bintang mendidik kita, para penghuni Bumi yang kerap tertatih di masalah sendiri dan selalu mencari tiang untuk dirangkul, untuk tetap bertahan seorang diri meski di sekelilingmu adalah hitam belaka dan kau hanyalah sebuah titik kecil di tengah keramaian dunia.

Belakangan, setelah aku membaca lebih banyak literatur tentang astronomi, aku tahu ada bintang kembar. Binary star. Yang barangkali, aku yang awam ini menyimpulkan, bisa saja saling memberi makan energi satu sama lain.

Lalu aku bertanya-tanya, mungkinkah aku dan Fio adalah sepasang bintang kembar, suatu waktu nanti?

Itu tidak penting sekarang. Aku mengabaikan keping-keping intermezzo itu untuk kemudian kembali mencorat-coret kertas di hadapanku, dengan beragam konsep yang harus kusiapkan dan kumatangkan malam ini juga.

"Yang ini ... atau yang ini, ya?

Sepertinya mengerjakan apapun di hadapan Fiorenzo adalah salah.

Pantas saja Tuhan menyuruh kami berjauhan untuk rentang waktu yang panjang, di rentang waktu yang memang seharusnya kami isi dengan pengembangan diri dan penemuan jiwa, serta pendalaman rasa ingin tahu. Aku perlahan mengerti bahwa jarak di antara kami, yang terbentang untuk sekian lama, adalah cara agar aku bisa mengetahui siapa aku sebenarnya sebelum Tuhan kembali menyegerakan pertemuan kami dan membuatku perlahan harus membiasakan diri dengan hal lain:

menyelaraskan hidupku ketika dia ada sejengkal dari tanganku.

Kembali aku singkirkan Fio dan tak kucoba untuk mempedulikan racauannya saat dia memilah-milah lukisan yang katanya akan dia jadikan inspirasi untuk rancangan tipe neoklasik (dan sedikit sentuhan gotik juga gaya bizantium, katanya!) yang akan dia ajukan pada atasannya.

"Mon. Eh, sibuk ya."

"Mmm?" aku mengangkat pandangan namun masih kulanjutkan tulisan (kacau)ku.

"Bisa tolong potret aku?"

"Hmff," aku menahan geli, sungguhan! Lalu aku bertanya dengan kepala miring, "di sini?"

"Iya, dalam posisi duduk begini. Iseng saja."

"Dasar," kusumpahi dia, tetapi tetap kuambil ponsel yang dia sodorkan. Aku potret dia dua-tiga kali dan dia tampak santai saja, tidak malu dengan kombinasi kamera, foto diri dan keramaian. Dia cukup fotogenik, walau kuakui sepupu satu kalinya, Lovino, lebih tampan darinya. Sedangkan kembaran Lovi, Feliciano, kurasa lebih kepada ... 'lucu'?

Tetapi meski dia tidak punya ciri khas tersendiri, aku menemukan diriku di dan dari dirinya.

Aku masih mencintainya, tenang saja.

masihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang