hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making..
.
seborga/monaco. au.
.
Jadi ini tentang dunia dan semua warna senjanya, yang masuk ke dalam kameraku.
Yang masuk ke dalam kepalaku, adalah semua tentang ucapan Fiorenzo. Dia yang berkata bahwa dunia dan waktu mengalir seperti kabut yang menipu, menghanyutkan, tetapi menenangkan; bukan hal yang bisa kuduga dari seorang Fio. Dari mana dia mendapat kecup-kecup inspirasi di dinding pikirannya tentang hal filosofi seperti itu?
Jika aku adalah Monique yang dulu, aku pasti mengatakan bahwa ada seorang wanita yang mengajarinya jauh di Basel sana. Tentu saja tidak lagi asumsi itu mengular di kepalaku! Aku bukan anak belasan tahun yang jatuh cinta tetapi menggandeng curiga.
Fio tetaplah Fiorenzo, yang mengundang banyak kejutan. Dan siapa yang masih jatuh cinta padanya?
Bukan (hanya) aku.
Namun juga pikiran dan hatiku.
Dan dia masih mengoceh soal kabut pada Lovi, yang entah mengapa bisa sekali menjadi teman bicaranya. Tak terduga, hei, tentu saja. Banyak yang berubah di sini—mungkin juga aku, tetapi kadang tak banyak yang bisa kita ketahui dari diri kita sendiri.
Dia bersandar di pintu mobil. Kami berhenti tak jauh dari sebuah tikungan—dan jalan melengkung ini membukakan peta nyata dunia yang luas untukku. Untukku yang anak ruangan dan cuma tahu keajaiban lewat barisan kotak-kotak warna halus di layar.
Lovino bersisian dengannya, Feliciano duduk di atas mobil, dan Francisco menyelonjorkan kaki di belakang mobil. Aku sendiri menghampiri tebing dan memikirkan soal kabut. Kameraku digantung di leher tetapi badannya masih kupegang.
Aku mengarahkannya lagi ke pegunungan dan pepohonan yang menjulang di sana-sini, sergam terhadap rimbun-rimbun bulat menggumpal yang tenang tanpa dirayu angin. Aku ingin berlari menjamahnya, dan jika bisa, terus mengabadikan semua petaknya. Namun apalah yang akan terjadi ketika semua itu kuwujudkan? Aku takkan pernah puas, itu sudah pasti. Aku selalu diminta, oleh perjalanan hidupku sendiri, untuk memahami bahwa takkan pernah ada kepuasan untuk setiap hasrat.
"Mon!"
Aku menoleh. Fio lagi, Fio lagi. Bukan berarti aku bosan, Tuan, Nyonya, semuanya. Aku masih menyukai panggilan itu.
"Lapar?"
Aku mengangkat bahu, kurasa kikuk. "Tidak."
"Kami makan, ya! Kalau mendadak lapar, bergabung saja."
"Tentu!"
Fio dan Francisco mengambil kotak makanan di belakang mobil. Lovino mengambil entah apa di bagian tengah, dan Felicano melompat turun.
Mataku mencoba mencari. Aku merasa seperti pemburu. Kuburu segala yang bisa kutangkap dari Fio—dan aku refleks mengangkat kameraku ketika Fio membawa kotak makanan dari bagasi dan dia tertawa karena Francisco mengatakan hal bodoh tentang permainan kata.
Aku menangkap buruanku.
Di belakangnya ada kabut gunung.
Kupandang lagi hasil tangkapanku. Kabut memang menghanyutkan, ya, Fio, terutama yang berada di depannya.
