ego

160 32 1
                                    

hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making.

.

.

seborga/monaco. au.

.

.

Seharusnya aku biasa saja ketika dia datang.

Aku melakukan hal yang seharusnya. Tenang saja. Ada perasaan yang meledak, seperti itu adanya, tetapi aku sedang mengasah kemampuanku untuk selalu menganggap biasa saja hal-hal kecil yang berkaitan dan dilakukan oleh Fiorenzo. Karena dia adalah orang biasa, tentu, biasa sekali, sehingga aku masih jatuh cinta padanya.

"Serius?" tanyanya. "Coba saja bilang dari awal. Akan kubelikan di perjalanan."

"Sudahlah, tidak apa-apa. Aku tidak terbiasa meminta orang untuk membawakanku makanan sementara aku sendiri santai-santai di rumah. Berbeda kasus dengan delivery, sih, tetapi aku juga bukan orang yang sering mengandalkan pesan-antar. Cuma beberapa kali seumur hidupku."

"Yaah, ada-ada saja kau ini," dia berkata dan sedikit-sedikit tertawa, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa sambil mengutak-atik ponselnya. Entah apa yang dia lakukan dengan kontak yang baru saja kuberikan padanya. "Berarti kalau pacarmu datang kau juga tidak pernah minta apa-apa?"

Pernyataannya membuatku mengangkat alis. "Uhm, aku tidak punya pacar." Aku menelan ludah ketika aku langsung melepaskan pertanyaan tanpa tedeng aling-aling, "Kau?"

"Sama. Belum mau memikirkan soal itu." Lantas dia terkekeh. Lucu sekali.

"Berarti selama kuliah—"

"Tidak juga. Pernah dua atau tiga kali. Tapi seperti yang kautebak, karena aku belum bisa serius, aku tidak bisa mempertahankannya. Para mantan kekasihku juga sepertinya belum mau memikirkan hal yang lebih jauh. Kami putus begitu saja." Dia duduk tegak lagi, mengambil salah satu majalah arsitektur yang kusodorkan beberapa bundel untuknya. Dia membutuhkan seorang narasumber dan bahan-bahan riset untuk proyeknya. Kebetulan ayahku dulu berlangganan salah satu majalah ini dan salah satu pakarnya, yang sering menulis di terbitan ini, sekarang jadi bagian di kantorku.

"Aku juga memikirkan hal yang sama ...." Aku menghela napas. "Aku merasa ... masih begitu egois. Aku masih mementingkan diriku sendiri. Aku ingin mengejar banyak hal untuk diri sendiri—"

Matanya mengarah padaku dan memandang lekat sekali. Aku merasa salah strategi kata-kata.

"—tapi bukan berarti aku tidak sedang jatuh cinta dan tidak memikirkan cinta sama sekali, ya," untung kata-kata itu tidak terucapkan dengan gagap, lalu aku tutupi dengan tawa.

... Astaga, apa yang barusan kukatakan.

Dia balik tertawa. Semoga dia tak terlalu memikirkannya. Kuamati mimiknya, kelihatannya dia gembira. Kutebak, dia pasti satu pemikiran.

"Ooh. Kukira cuma aku yang berpikir begitu. Aku malu mengakuinya pada orang lain—tetapi pada kenyataannya memang begitu. Aku ingin mengejar mimpi dan karir saja dulu."

Nah, ujung panah ada di titik merah. Menganalisis lebih baik daripada berprasangka. Terima kasih Tuhan, aku tidak kehilangan mukaku barusan—karena sepertinya dia tak menggubris kalimat kedua.

"Kita manusia," ucapku, mencoba membuatnya semakin lupa, "wajar jika kita agak ... egois, 'kan?"

"Kau benar." Fio menutup majalah barusan. "Sesekali kita memang harus egois. Itu sifat alamiah yang membantu kita bertahan, bukan? Kalau kita tidak keras kepala pada cara yang kita anggap baik—tentu setelah melalui perenungan yang panjang—lantas apa kita hanya akan mengikuti arus dan tidak bisa merancang nasib kita sendiri?"

Fiorenzo memanusiakan dirinya di mataku.

"Eh, beberapa majalahnya kubawa dulu, ya? Akan kupilih mana yang terbaik."

"Ambillah. Ayah juga sudah lupa dengan majalah-majalah ini. Ibu ingin membuangnya, tetapi kutahan karena aku suka melihat beberapa rancangannya."

"Heeei, suka arsitektur juga, Mon?" sekarang namaku terdengar sangat Prancis di mulutnya. Seolah ada huruf 'g' di ujungnya. Oh, wajar. Dia kenyang makan udara Basel, kota titik perbatasan utara Swiss. Tentu dekat dengan Prancis dan barangkali lingkaran pergaulannya berasal dari barat semua.

"Mon?"

"Aku dengar." Aku tersenyum sekali lagi. "Ya. Cukup suka walau aku tidak tahu apa-apa. Bagian dari hiburan, memandangi rancangan yang bagus dan rapi."

"Bagus, aku suka mendengarnya," ringan sekali kata-kata itu terucap. "Sesekali kau harus lihat rancanganku," lalu dia terkekeh bangga.

Lihat tawa dan antusiasmenya pada hal yang dia anggap adalah dunianya, mimpinya, separuh jiwanya, egonya.

Bagaimana mungkin aku berhenti?

masihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang