art stalls

668 56 2
                                    

hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making.

.

.

seborga/monaco. au.

.

.

.

.

Jadi, suatu waktu aku pernah bertanya pada diriku sendiri,

kenapa kamu masih mencintai pemuda itu?

.

Piazza Navona menjadi cinta pertamaku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sana. Usiaku lima tahun saat itu, dan Ayah juga Ibu memutuskan untuk mengenalkanku pada tempat-tempat publik lebih dahulu daripada jenis bangunan lainnya—termasuk sekolah—dengan pertimbangan tertentu. Agar aku terbiasa dengan keramaian, kata mereka, dan kuanggap ajaran itu mencapai tujuannya. Aku suka tempat publik.

Aku jatuh cinta berkali-kali, berulang, terus terjadi, apalagi setiap kali aku menemukan benda-benda seni; lukisan, cangkir kuno bermotif biru (atau motif chinoiserie, beristilah begitu, aku mempelajarinya sendiri saat SMA), dan lain sebagainya.

Tempat ini juga menyediakan arena penjualan benda-benda berseni. Navona, berulang kali, menjadi tempatku jatuh cinta. Aku jadi merasa menyesal hanya membawa sedikit uang di dompetku.

"Monique."

Aku menoleh. Seharusnya aku tahu siapa hanya dengan suaranya.

"Fio?"

"Ah, iya. Yang ini." Dia sibuk menawar, kemudian. Aku menunggunya. Setelah dia sepakat dengan si penjual dengan harga yang tak banyak ditawar, dia kembali kepadaku. "Aku mau jalan lagi. Ikut?"

"Eh, iya. Kebetulan aku juga sendirian."

"Hmm." Dia menenteng plastik berisi satu lukisan alam hitam-putih dengan ringannya. "Tumben sendirian."

"Tidak ada yang punya waktu cukup luang untuk menemaniku," aku mengulum senyum. "Tapi untung, ada kau." Lantas aku berdeham, merasa salah dengan kalimatku sendiri. Tapi apa masalah? Dia bukan orang yang begitu asing untuk menemukanku dalam keadaan kikuk. Banyak hal yang telah kami lewati bersama, di petak-petak ruang tempat belajar maupun ruang-ruang terbuka di mana takdir kami bersambung satu sama lain dalam satu waktu yang menarik. Malu bukan hal yang seharusnya kurasakan lagi, memang, tetapi selalu ada waktu-waktu ketika aku merasa seperti anak kecil dan baru mengenalnya seolah duniaku baru berputar sebentar.

Mata dia meliar ke sana-ke mari, mencari benda inspirasi. "Aku juga," katanya, rupanya menjadi pendengar yang baik pula. "Setelah ini makan bersama, bagaimana? Aku lapar."

"Boleh. Apakah kau luang malam ini? Aku ingin tetap di sini sampai malam," aku menaikkan syalku yang sedikit melorot. "Jika ya, maka kita bisa bersama-sama, bukan?"

"Mmm, sebenarnya tidak ada acara juga. Tapi itu ide bagus. Aku bisa menggambar. Banyak bahan di sini. Kau, memangnya sedang punya janji di sini, kah?"

"Tidak. Seorang pekerja lepas sedang butuh dunia luar untuk mengerjakan proyeknya," senyumku ke arahnya, kebetulan dia sedang melihatku—dan dia tak melunturkan senyumnya. Lantas kupatahkan aksi pandang itu dengan melirik pada lukisan yang begitu cantik di sebuah lapak yang agak menjorok ke dalam. Aku tak bisa begitu lama memandanginya. Ia punya segala cara untuk meruntuhkanku dengan tatapan juga senyumnya. Semudah itu mengacaukanku, ya, kuberitahu kelemahanku.

"Menulis itu sepertinya sangat menyenangkan."

Kusahut, "Menggambar juga."

Hening lagi. Lalu, ya, setiap kali bersamanya—yang baru saja bisa terjadi setelah dia pulang dari belajar di Swiss—aku selalu bertanya hal itu,

kenapa kau masih jatuh cinta padanya?

Seandainya Fio punya jawabannya, tapi kuduga tidak. Lagipula, untuk apa kutanyakan itu jika itu hanya menimbulkan ambiguitas dalam hidupku, hubungan dengannya, dan pikiranku sendiri?

"Aku masih punya banyak lukisan yang harus kubeli. Untuk referensi. Kalau lapar, carilah tempat makan duluan. Nanti hubungi aku."

Aku menghela napas. "Kutemani."

"Wah, baiklah."

"Aku juga ingin beberapa lukisan. Penting juga untuk inspirasi."

"Oo. Ah, itu bagus. Sebentar, ya."

Kuekori dia. Aku sadar langit di atas kepalaku mendung, dan tidak ada satupun dari kami yang membawa payung atau sekadar topi. Namun bukan kekhawatiran itu yang mengusikku; itu hanya pertanyaan biasa.

Pertanyaan tidak biasa masih memayungi kepalaku.

Kenapa kamu jatuh cinta padanya?

.

.

.

Oh, barangkali karena dia adalah Fiorenzo Vargas yang punya caranya sendiri untuk hidup.

.

.

.

Ah, iya. Milyaran manusia di muka bumi ini juga punya caranya sendiri-sendiri untuk hidup. Dan total semuanya adalah milyaran pula.

Aku jatuh hati pada salah satunya.

Lalu, kenapa dia?

.

Bukankah yang lain juga unik?

Hm, barangkali cukup mudah untuk menjawabnya. Seleraku dan keunikannya bertalian satu sama lain.

Dengan alasan yang tak kutemukan bahkan di inti bumi atau quasar sekalipun.

.

Lalu kenapa mencari alasan sementara aku bisa bahagia meski tanpa alasan dan jawaban?

.

.

a/n: chinoiserie theme in european artistic styles since the 17th century, which reflect chinese artistic influences. piazza navona has art stalls—the 'aisle' is pretty!


masihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang