hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making..
.
seborga/monaco. au.
.
.
.
Tehku hampir habis. Mengagetkan, Fiorenzo meminta berkali-kali dariku. Seakan teh itu memang miliknya.
Separuh dari diriku menyayangkan—karena semua yang mengenalku tentu tahu betapa maniaknya aku pada teh—namun sisi yang lain, membawaku ke tempat yang jauh berbeda.
Senang, tentu saja, karena orang jatuh cinta selalu senang. Aku barangkali sudah cukup tua untuk bahagia karena momen sesederhana bab kecil kisah harian cinta monyet, tetapi, tentu, orang jatuh cinta adalah orang muda. Dan aku muda, sisi itu selalu muda, karena yang cinta tak mau mengenal sifat tua.
Fiorenzo masih menggambar. Matahari sudah tenggelam, dunia lampu telah membuka mata. Navona sudah ramai oleh pengembara malam, pencari kebahagiaan di tengah lampu-lampu dan patung serta keramaian dunia yang begitu cuek, namun begitu membebaskan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa aku begitu betah di sini tanpa makanan?
"Aaah, selesai." Aku melihat Fiorenzo menggemeretakkan jari-jarinya. Matanya lekat pada imaji yang dia ciptakan sendiri.
"Bagus." Kutunjuk sebuah bagian, "Bangunan ini, hiasan ini, tambahan sendiri, ya?"
Aku hafal Piazza Navona dengan caraku sendiri. Aku jatuh cinta di sini dan aku masih mencintainya—juga Fiorenzo—dan begitu mudah menelan semua perubahan Piazza Navona dari waktu ke waktu seolah aku lahir dengan semua memori itu.
"Iya. Sedang suka tipe Rococo. Mungkin suatu waktu akan ada bangunan seperti itu?" dia lantas terkekeh. "Kadang-kadang, perancang itu bisa jadi peramal. Peramal yang tidak tahu kemampuannya sendiri."
Ah, ya, Rococo. Seni arsitektur dari abad ketujuh belas hingga akhir delapan belas. Desain yang penuh dengan sulur-sulur, bentuk seperti kerang dan bentuk-bentuk geometris.
Aku teringat suatu hal. "Penulis juga," aku mengulum senyumku.
Siapapun boleh tak percaya, termasuk diriku sendiri jika aku tak mau; bahwa aku mengalami hal seperti itu berkali-kali. Aku pernah menulis tentang aku dan dia yang duduk bersama di atas salah satu bangku Navona yang sedikit basah, dengan syal di leher kami masing-masing. Lalu sedikit teh dan kopi dingin yang terkutuk. Kulakukan tiga tahun lalu. Saat aku masih belum tahu Fiorenzo akan kembali ke Roma atau tidak, karena Universitas Basel seolah telah menjadi dunia sejatinya.
"Fio." Lantas aku menghela napas.
"Ya?"
Kubuka mulut. Tak jadi. Kubiarkan dia bertanya lewat gerakan alisnya.
Tetapi dia tersenyum lebar. "Lapar, ya?"
Cepat sekali aku mengangguk. Fiorenzo menutup buku sketsanya dan menutup jaketnya. "Setelah kita memotret, boleh? Aku ingin mengambil beberapa gambar di sepanjang Navona. Untuk sesuatu."
"Oke."
Aku berdiri setelah dia beranjak.
Tahukah sesuatu?
Aku,
masih jatuh cinta pada pemuda ini.
.
.
Yang tak tahu bahwa perasaanku tak pernah mati.
Ya, masih.