hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making..
.
seborga/monaco. au.
.
.
.
"Tahu tidak, seni arsitektur art deco itu juga terinspirasi dari arsitektur Mesir kuno. Tapi bagaimanapun, aku paling suka motif zigzag dari seni itu." Fio berseloroh saat mengelus bagian fondasi obelisk Ramses II dari Heliopolis yang berdiri tegak di tengah-tengah tempat ini.
Piazza del Papolo. Tentu, kami bertemu lagi. Aku tidak pernah memperhitungkan—tepatnya, tak berani—untuk memikirkan apakah kami akan melakukan hal-hal seperti ini setelah kepulangannya. Pada nyatanya, itu benar terjadi.
"Mon."
Aku mendengarnya, tentu saja. Tetapi kubiarkan. Salahkah aku ketika aku ingin tahu seberapa jauh dia berusaha mencari perhatianku? Sengaja aku memusatkan perhatian pada puncak obelisk yang membuat leherku sakit.
"Monique?"
"Hmmm," aku yang meluluh dan menyerah.
"Waah, anak ini tidak mendengarku," dia lantas tertawa, aku menahan diri untuk tidak begitu mudah tersenyum atas tawanya.
(Nyatanya, itu sulit!)
Kubalas tawanya. Nah, apa yang kubilang barusan. Aku bahkan tidak lagi tersenyum. Aku tertawa, untuknya, dan selalu saja aku menjadi lilin dan dia sang api, mudah sekali menebak caraku jatuh cinta.
"Aku dengar. Art deco, bukan? Dan relasinya dengan masa lalu. Mesir kuno."
"Ah, bagus. Senang mendengarnya."
Dia melangkah. Kubuntuti. Lagi-lagi ini adalah sebuah hasil dari runtuhan deretan domino yang tidak bisa kucegah. Aku baru saja menyelesaikan janji dengan salah satu atasan di tempat magangku di sini, membicarakan hal-hal ringan diselingi inovasi untuk edisi khusus yang akan diluncurkan dua bulan lagi. Kemudian yang berikutnya adalah, dia melewatiku dan segera kusambar dia. Dia dan perhatiannya pada sekeliling yang kadang alpa, membuatnya tidak menyadari keberadaanku.
Tetapi sesuatu yang sangat tidak mudah bagiku untuk tidak memperhatikan dunia sekitar apalagi jika ada dirinya. Bahkan ketika dunia begitu sibuk di sekelilingku, aku bisa melihat wajahnya di kerumunan yang ternyata orang lain yang tampak nyata. Aku salah jika aku mengatakan dia luput dari keseharianku bahkan di hari-hari saat kami berjauhan.
Malam ini, di piazza banyak sekali pengunjung. Bahkan aku melihat wajah-wajah oriental. Gerbang agak sesak untuk beberapa saat, saat kami berkeliling menjauhi obelisk.
"Mon. Serius."
Jantungku sepertinya melambat. Atau berhenti.
"I-iya?"
"Jadi ikut atau tidak?"
Masih rencana yang sama: Alpen. Tetapi aku tidak mungkin melakukannya. Tidak untuk saat ini ... barangkali.
Namun sudah kubilang, aku adalah lilin.
"Biaya jalan dan makan aku yang tanggung, kok. Lagipula dua orang tidak jadi dan akhirnya kami cuma bertiga. Supaya lebih seru ayo ikut juga."
"Jadinya siapa saja?"
"Mmhm. Kaubisa menebaknya." Fio terus berjalan. Ternyata kami kembali ke titik semula. Langkah kami tertuju ke obelisk lagi. Sepertinya benda ini magnet untuk kami berdua.
"Siapaaa?"
"Feli dan satu teman kuliahku."
"A—ah, Feliciano?" astaga, perjalanan pasti akan seru. Meski anak itu berisik, aku cukup suka perangainya karena dia ceria dan dia bisa diajak main kartu—walau dia tidak sehebat kakak kembarnya, tetapi dia tak terduga.
"Ikut saja, ya?"
Bagaimana. Uh. Perjalanan bersama Fiorenzo. Aku tidak bisa berhenti mengendalikan perubahan isi kepalaku menjadi seperti seorang anak sekolah menengah yang tertunduk malu di koridor karena baru saja diajak rapat organisasi oleh tetangga kelas yang kutaksir.
"Ya, ya? Nanti aku yang akan bicara pada orangtuamu kalau mereka tidak mengizinkan."
Bukan itu masalahnya, Tuan Vargas. Aku menelan ludah lalu memandangi obelisk yang juga mulai dirubungi orang-orang dan para penaksir peninggalan kuno. Obelisk ini terlalu tinggi untuk leher kami. Berikut pula ekspekstasiku pada kombinasi Alpen dan Fiorenzo.
"Mendekati gunung—apalagi mendaki, rasanya benar-benar luar biasa dan menyenangkan. Belum pernah, 'kan?"
"Belum, sebenarnya ...," aku menoleh ke arah lain selagi berkata. Dia tersenyum, kuketahui dari sudut mata, dan itu cukup membuatku tersenyum pula.
"Akan jadi pertama kalinya untukmu. Nah, kenapa tidak, 'kan?"
Aku kembali padanya. Aku tersenyum, lantas senyumnya semakin lebar pula.
Kupatahkan pandangan dengan menunduk lalu mendongak pada obelisk—lagi-lagi. Aku mendengarnya tertawa kecil.
Kenapa aku masih jatuh cinta padanya?
Karena dia membuatku begitu.
