road to home

197 31 2
                                    

hetalia © hidekazu himaruya
no profit is gained in the making.

.

.

seborga/monaco. au.

.

.

.

Masih bandara Leonardo da Vinci dan keramaiannya. Fio dan es kopinya. Kopernya yang besar, ranselnya yang sesak dan tas selempangnya yang penuh. Aku dan mantel tuaku. Kami menjadi dua orang yang berdiri di tengah-tengah arus, dan seolah kami tak punya tujuan.

Tetapi Fiorenzo tersenyum menatap langit Roma. Taksi beberapa kali melewati kami dan tak sedikit yang menawarkan diri, tetapi kutolak karena Fio belum sedikit pun menunjukkan niat untuk bergerak.

Getaran di dalam sakuku mengalihkan perhatian. Astaga, Ibu.

"Halo, Sayang, masih di kantor?"

"Sudah pulang. Tapi aku sedang ... menjemput temanku. Ya, temanku. Di bandara. Mungkin aku juga akan mengantarkannya ke rumah."

"Begitu. Tidak apa-apa, antarkan saja dia. Ibu juga belum sampai di rumah. Tadi Ibu bertanya apakah kau di rumah karena ada tamu Ayah akan datang. Nanti Ibu yang bilang pada Ayah."

"Oh, oke. Aku pulang agak terlambat tidak apa-apa, ya."

"Tidak apa-apa. Jangan lupa makan malam, yaaa."

Kututup. Menoleh. Fio memandangiku sambil tertawa, "Aku dengar kata 'makan' tadi."

"Mmh. Aku sudah makan di perjalanan ke sini. Kau? Mungkin kau lapar? Aku bisa menemani."

"Tidak usah dipikirkan. Masih kenyang karena makanan di pesawat tadi."

"Tapi di rumahmu tidak ada orang. Kau yang capek mana mungkin memasak, bukan?"

Fio mengetukkan jarinya di pegangan koper. "Benar juga. Di mana tempat makan yang enak di Roma sekarang?"

"Terlalu lama tidak pulang ya begitu," aku menaikkan ritsleting mantelku hingga ke leher, jalinan rambutku kubiarkan jatuh ke belakang semua. "Aku tahu. Aku juga baru mencobanya beberapa hari yang lalu. Menu utamanya pizza mini dan omelet yang entah kenapa begitu enak dan tak biasa."

"Ooke. Ayo ke sana." Fiorenzo melongok dan melambaikan tangan. Sebuah taksi menghampiri dan dia langsung menyerbu ekor mobil. Membuka penutup pintu bagasi dan memasukkan koper-kopernya, sang supir kaget dan berusaha membantu.

Di dalam, dia dan aku duduk berjarak. Tetapi pembicaraan kami tidak. Masih menyambung, dan tak kukira dia bisa bicara lancar tanpa rasa kikuk. Apalagi denganku, orang yang sudah begitu lama tak ditemuinya. Aku berprasangka, tetapi ternyata itu semua tidak keluar dari pikiranku—hanya bayangan, bukan kenyataan.

"Tadi aku juga dengar 'kantor'. Sudah kerja, ya?"

"Magang. Sudah setengah jalan. Yaa, di kantor majalah kuliner, sih. Tapi aku menikmatinya."

"Waah, berarti kau tahu banyak tempat makan yang bagus. Ha ha ha, aku harus mengajakmu sering-sering, nih."

Dan jangan tanyakan mengapa aku masih jatuh cinta padanya.

"Aku juga akan magang sebentar lagi."

"Jadi itu alasanmu pulang?" aku melirik. Dia memandangi jendela dan mengetukkan jarinya di tepian kaca.

"Salah satunya." Dia menghadap padaku, nyengir. "Yaa, sebenarnya karena koneksi. Teman ayahku butuh seorang bawahan di kantornya, dan aku ditawari. Kebetulan baru lulus, kenapa tidak?"

"Kantor apa?"

"Konsultan desain interior dan eksterior. Sangat sesuai."

"Selamat, kalau begitu."

"Terima kasih."

Namanya juga 'dunia berputar'. Berputar. Melakukan suatu gerakan dalam bentuk lingkaran yang akan membuat si pelaku kembali ke titik awal. Kadang ada yang menyebut 'dunia berputar', ada pula yang menyebut 'waktu berjalan'. Pilihan setiap orang tak sama. Namun yang sama, itu semua bertalian dengan nasib.

Bagiku, 'dunia berputar'.

Karena aku kembali ke titik yang pernah kualami sebelumnya. Akan ada lagi hari-hari bersama Fiorenzo, seperti yang terjadi di masa sekolah.

Tentu, perputaran ini jugalah yang menyebabkan aku masih jatuh cinta padanya. Mudah.

masihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang