lamp post

215 31 4
                                    

hetalia © hidekazu himaruya

no profit is gained in the making.

.

.

seborga/monaco. au.

.

.

.

Aku selalu suka bagian bawah tiang lampu. Meski nyala lampunya pudar, aku tahu aku tidak sendirian. Apalagi tiang lampu yang basah karena hujan.

Sisa-sisa hujan tadi sore, sebelum kami bertemu secara kebetulan di sini, masih ada, melumuri tiangnya yang dingin. Kusandari. Aku biarkan Fio berdiri di sampingku, dengan jarak yang tak begitu kupedulikan. Apa arti jarak sekian jengkal ketika kami berdiri di bawah lampu yang sama, sedangkan aku bisa berdiri dan berlari ketika di antara kami ada jarak yang diisi pegunungan, sungai, batas negara, bahkan batas waktu?

Aku bermaksud untuk sombong, meninggi? Tidak. Kenapa harus merasa tinggi ketka aku merasa begitu kecil di samping Fio, yang meski sedikit sekali jarak kami dia tetap terasa tak tergapai? Sekecil apapun itu, kami tetap terasa tidak satu.

Tapi apapun yang dikatakan kenyataan, aku tetap,

dan masih,

jatuh cinta padanya.

Piazza del Papolo lebih hidup dengan lampu-lampu dan pengunjung yang ceria. Ini bukan akhir pekan, tapi aku bisa melihat wajah-wajah sumringah akhir minggu kali ini. Suasana lebih hidup dari yang kuperhitungkan.

"Mm. Fio. Kenapa kamu lebih memilih pulang saja? Eh ... bukan maksudku aku tidak senang kau kembali lagi," aku membuang rasa malu dengan menyandarkan kepala pada tiang lampu. "Tapi kau 'kan bisa ... ah, lulusan Universitas Basel, lagi. Swiss pasti menerimamu."

Fio tertawa kecil. "Swiss terlalu mahal untukku."

Padahal dia orang kaya. Ya ... bisa dibilang jauh lebih kaya dariku. Dia kuliah dengan mengendarai mobil dan tetap bisa membeli beberapa barang elektronik yang bagus semasa dia masih belajar. Tambahan yang paling utama: dia menjadi bagian dari universitas legendaris itu tanpa beasiswa. Dia bukan si jenius, walau aku tahu dia punya beberapa nilai yang di atas rata-rata.

"Ditambah lagi." Dia membuatku tersadar, "Pulang adalah hal yang paling menyenangkan.

Pulang. Pulang. Ya, pulang. Aku tidak pernah benar-benar merasakan apa itu 'pulang'. Dia yang petualang tentu lebih tahu.

"Aku juga ingin tahu rasanya tinggal dan 'bertahan'. Yaa, kamu selama ini seperti itu, 'kan?"

Hei, Fio.

Apa bertahan itu sama indahnya dengan pulang?

Fiorenzo lalu mengeluarkan ponselnya. Entah apa yang diperbuatnya, aku tidak ingin menengok. Tak lama kemudian dia menyikut lenganku, aku berhenti menatap lampu di atas sana.

"Aku lapar." Lalu cengiran muncul. Ya Tuhan, dia baru saja jajan!

"Belum kenyang juga, bukannya tadi—"

"Aku kangen pasta asli Italia. Bagaimanapun dan di manapun, pasta yang kutemukan di Basel bahkan Zurich, Jenewa dan Bern rasanya berbeda dari yang biasa kutemui di Roma. Temani aku makan, ya, ya?" dia mengedipkan matanya lebih cepat. Aku tidak tahan untuk tidak memutar bola mataku dan menggeser letak kacamata ke atas. Dia ini, ya, benar-benar ....

Dan, dia sudah berjalan sejauh itu. Mengelilingi Swiss jangan-jangan sudah pernah. Ah, dasar. Kemudian, soal pasta. Ha, siapa suruh terlalu lama di sana. Ups.

"Ya sudah, ikut aku. Aku tahu yang paling enak ada di mana. Kita cari taksi di depan saja—"

"Untuk apa taksi?" Dia menghentikan langkahku. Ketika aku menoleh, dia mengarahkan jempolnya ke belakang pundaknya. "Aku bawa mobil, lho."

"Eh?"

"Mobilku baru datang dari Basel. Jadi aku bisa lebih bebas ke mana-mana. Nanti kita ke Alpen pakai mobilku juga, kok."

Tuhan, astaga.

Mobilnya pun benar-benar dibawa ke sini. Dia memang ingin bertahan.

"O-oke, baik." Aku berjalan cepat mengikutinya, membelah arus, sambil memasukkan kedua tanganku ke saku mantel. Seringkali aku menunduk, hanya memerhatikan bagaimana kakinya bergerak. Tetapi kemudian, hampir tiba di tempat parkir, aku mengangkat kepala. Apa yang akan dunia bilang jika aku masih seperti katak terkungkung sementara tempurung di atas kepalaku sudah dihilangkan?

Mobilnya silver. Kecil dan—kelihatannya—begitu lincah dan praktis. Ini kali pertama aku bepergian bersamanya ... hanya berdua. Dia mungkin tidak sadar dan tidak memerlukan fakta itu, tapi bagi seorang Monique, ini bukan hal biasa.

"Bisa nyetir, 'kan?" Dia tiba-tiba berhenti meski telah membuka pintu pengemudi. Aku juga sudah menaruh tangan di pembukanya.

"Um ... bisa. Sudah ada lisensi mengemudi juga."

"Nah, kau saja yang bawa mobilnya. Kau tahu tempatnya, lebih gampang begitu, mm?"

"Heeei, ini mobil mahal," aku terkekeh sambil mengibaskan tangan di udara.

"Tidak ada bedanya mobil mahal dan murah bagi seseorang yang bisa mengendarai," ia menjulurkan lidah mengejekku. Awas dia. "Ayolaaah, ya. Aku lapar."

Dia percaya padaku ... oke, percaya. Dia pulang untuk percaya padaku.

—Berlebihan, Monique. Aku segera melibas pikiran yang lebih jauh lagi dengan mengitari mobil. Aku berdiri di sisinya. "Sudahlah, ayo."

"Baguuus."

Bagaimana bisa kata 'masih' itu hilang dari kepalaku jika ceritanya akan jadi seperti ini.

masihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang