Cek mulmed, Cody Christian as Steff Iskandar
***
Kedua remaja itu -muda-mudi- akhirnya tenggelam dalam keheningan. Duduk berdiam diri. Hanya deru nafas mereja yang terdengar bersama dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi, sesekali suara derai tawa dan nyanyian dari kejauhan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mampu mengeluarkan sepatah katapun sejak beberapa menit yang lalu. Lebih tepatnya setelah penolakan yang terjadi sebelumnya di antara mereka.
"Aku menyukaimu. Tidak. Aku mencintaimu. Sudah sejak lama, aku pikir sejak kita masih duduk di kelas satu. Aku mencintaimu, Steff."
Kalimat pernyataan cinta dari seorang Aura Mikhelia untuk pria yang dipujanya sejak lama itu, Steff Iskandar.
Steff terdiam, terpaku. Tubuhnya membeku, tidak tau harus berkata apa.
"Katakan sesuatu, Steff." Aura menyentuh pundaknya. Berusaha menyentak pria itu agar membalas pembicaraannya.
Steff menatap gadis di sebelahnya. Belum ada balasan darinya. Ingin membalas dengan mengatakan penolakan, tapi ia tidak ingin menyakiti teman dekatnya. Tapi jika ia menerima cinta itu, sejujurnya ia tidak mempunyai perasaan yang sama dengan Aura.
"Aku mencintaimu, Steff." Aura mengulang lagi pernyataan cintanya. Mata hitamnya menatap penuh harap pada Steff.
Steff menarik nafas panjang. Bagaimanapun juga dia memang harus membalas pernyataan Aura, sekalipun itu akan menyakiti hati Aura. "Maafkan aku, Ra. Tapi aku tidak mempunyai rasa yang sama denganmu. Lagipula aku rasa masih terlalu dini untuk kita membicarakan masalah cinta apalagi untuk terlibat di dalamnya. Aku sama sekali belum memikirkan masalah cinta. Maafkan aku, mungkin sekedar teman akan jauh lebih baik untuk kita."
"Ra?" Steff akhirnya membuka suara setelah hampir setengah jam keheningan menyelimuti mereka. "Maafkan aku," lanjutnya dengan nada bersalah.
Aura memaksakan senyumnya. "Tidak apa-apa. Kamu tidak bersalah sama sekali. Akulah yang seharusnya meminta maaf karena sudah lancang mengatakan kalimat seperti itu. Tapi biar bagaimanapun, aku harus mengungkapkannya. Setidaknya untuk melepaskan beban di dalam hatiku. Dan, aku akan tetap mencintaimu."
Steff menatap kaget Aura. "Jangan lakukan itu, Ra. Kamu akan terluka nantinya."
Aura menggelengkan kepala pelan. "Aku sudah bilang, aku akan baik-baik saja. Dan beban pikiranku lebih ringan sekarang setelah aku mengungkapkannya."
"Aku hanya tidak ingin kamu terluka lebih dalam lagi, Ra. Aku tidak bisa berjanji kalau di masa depan aku bisa membalas perasaanku. Aku tidak bisa menduga apa yang akan terjadi nantinya."
Lagi, Aura tersenyum paksa. "Aku akan tetap mencintaimu sampai kapanpun, Steff. Jika tidak di kehidupan sekarang, aku akan menunggu hingga di kehidupan selanjutnya."
Steff mengulurkan tangannya untuk mengelus pundak Aura. Perasaannya campur aduk antara merasa bersalah, bingung dan sedikit kasihan.
***
Aura Mikhelia. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang kini duduk di bangku SMA kelas tiga. Anak bungsu dari tiga bersaudara, dengan seorang kakak perempuan -Stefany- dan seorang kakak laki-laki -Mario. Ayahnya -Martin- seorang petinggi di salah satu perusahaan swasta, sedangkan ibunya -Azalia- seorang pebisnis dengan membuka butik miliknya dari hasil rancangan sendiri.
Sedangkan Steff Iskandar adalah anak pertama dan mempunyai seorang adik perempuan, Jasmine Zycha. Ayahnya -Jordan- telah meninggal lima tahun yang lalu, sedangkan ibunya -Zaskia-seorang wiraswasta. Mempunyai tiga restoran yang menjadi sumber penghidupan mereka sepeninggal ayahnya.
Aura dan Steff sudah kenal dan berteman sejak beberapa tahun sebelumnya, sejak mereka masuk bangku SMP. Awalnya hanya berteman biasa, namun semakin lama dalam hati Aura tumbuh perasaan yang berbeda. Bukankah cinta itu salah satunya karena terbiasa? Demikianlah yang terjadi pada Aura.
Saat ini keduanya sudah di bangku SMA kelas tiga semester akhir. Lebih tepatnya masih dalam masa liburan semester yang akan berakhir seminggu lagi dan akan masuk semester enam. Masa putih abu-abu mereka akan selesai dalam hitungan bulan, dan mereka akan berpisah setelahnya karena perbedaan tujuan masing-masing. Aura berniat melanjutkan ke salah satu perguruan tinggi negeri yang adanya di luar kota, sementara Steff tetap berada di kotanya dengan alasan tidak bisa meninggalkan ibu dan adiknya hanya berdua saja di rumah dan mengurusi ketiga usaha mereka. Ia ingin membantu beban ibunya, sebagaimana yang biasa ia lakukan semenjak ditinggal pergi sang ayah.
Dan yang menjadi alasan Aura untuk segera mengungkapkan perasaannya yang terpendam selama lebih dari dua tahun ini adalah hal itu. Perpisahan yang akan segera terjadi di antara mereka. Jika saja mereka masih akan berada di tempat yang sama seusai masa SMA ini, mungkin saja Aura akan terus memendamnya sendiri, tanpa ada niat untuk mengungkapkannya. Apalagi masih sedikit tabu bagi seorang gadis untuk mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Berharap Steff akan mempunyai rasa yang sama dan mereka bisa memanfaatkan waktu yang tersisa -beberapa bulan ke depan- berdua.
***
"Aura!" Panggilan dari seseorang membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Di sana ada Viola yang adalah sahabat Aura. Hal itu menyadarkan kembali kedua insan yang sedang asyik berdua, jika mereka saat ini ada di acara kemah satu kelas.
"Ya, ada apa?" tanya Aura dengan wajah bingungnya. Tentu saja, sudah hampir satu jam ia tidak mengikuti rangkaian acara yang telah panitia kemah susun. Viola adalah salah satu panitia inti sehingga mengurusi setiap jalannya acara tanpa bisa meninggalkannya. Sementara Steff yang menjadi ketua kelas mereka memilih untuk tidak ikut menjadi panitia, demikian juga dengan Aura -sang juara kelas- yang sangat malas dengan kegiatan bernama 'rapat' itu.
"Waktu untuk berduaan sudah habis. Aku sudah bingung harus memberikan alasan apa sama anak-anak yang lain." Ya, Viola-lah yang menunjukkan tempat tersembunyi itu pada Aura untuk bisa mengajak Steff bicara empat mata. Viola-lah yang paling mengerti bagaimana selama ini Aura menutupi perasaannya.
"Hm, baiklah. Terima kasih," kata Aura. Kemudian dia berbalik menatap Steff yang ternyata sudah berdiri lebih dulu. Steff mengulurkan tangannya untuk membantu Aura berdiri. Saat dia menoleh pada Viola lagi, gadis itu tersenyum penuh arti pada Aura.
"Ayo," kata Steff mengajak mereka untuk kembali ke acara. Aura dan Viola hanya menganggukkan kepala dengan Viola yang sama sekali belum bisa menyembunyikan senyuman penuh keingintahuan itu.
Steff berjalan lebih dulu seolah mengetahui kalau dua sahabat itu masih akan berbicara walau singkat. Tempat mereka bicara berdua tadi tidak begitu jauh dari tempat dimana anak-anak lainnya berkumpul mengelilingi api unggun.
"Bagaimana?" tanya Viola penuh penasaran.
Aura hanya menggeleng pelan serta memaksakan senyumannya. Viola yang langsung mengerti meski tanpa kata langsung merangkul sahabatnya. "Jangan sedih, laki-laki tampan bukan hanya dia," bujuknya.
"Dan kamu juga tau bagaimana sulitnya melupakan cinta pertama. Sudah lebih dulu kan merasakannya?" Viola hanya terdiam.
"Sudahlah, akan ada yang lebih baik di masa depan. Baik itu akan bersama dia atau tidak. Semangat, Ra!"
Keduanya kembali berkumpul bersama teman kelasnya yang masih berkeliling di api unggun sambil bernyanyi diiringi petikan gitar oleh dua orang di antara mereka dan satu cajon. Salah satunya adalah Steff yang entah sejak kapan sudah memegang alat musik petik satu itu.
Tbc
Vote & comment