Aura masih terdiam. Dipandanginya pantulan diri di dalam cermin. Ia melihat, dirinya tidaklah terlalu buruk. Bahkan untuk bersanding dengan seorang Steff, ia cukup layak. Jika dibandingkan dengan wanita yang tidak sengaja bertemu mereka sore tadi di pantai, dirinyalah yang lebih baik.
Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya pilihannya untuk berbulan madu di tempat ini salah. Ia tidak mengingat kalau beberapa tahun yang lalu, Steff pernah tinggal di pulau ini selama dua tahun. Menjadi tidak mungkin kalau Steff tidak mengenal siapa-siapa disini.
"Memangnya apa hebatnya dia?" gumamnya pelan untuk dirinya sendiri.
"Aku merindukanmu, Steff."
Steff tertawa kecil. "Berhentilah melakukan hal bodoh itu, Laura. Kita hanya sebatas teman."
"Tapi aku sudah berkali-kali mengatakan kalau aku menyukaimu, Steff."
Aura semakin menegang mendengar pembicaraan ini. Tapi ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak terpengaruh. Bisa-bisa Laura merasa menang atas dirinya. Atau setidaknya wanita itu akan merasa puas telah membuat dirinya uring-uringan. Dia pun hanya menanggapinya santai.
"Aku mohon, berhentilah, Laura. Itu tidak mungkin terjadi. Kamu lihat, aku sudah menikah sekarang. Dialah wanita yang aku tunggu selama ini. Dialah alasanku tidak bisa menerima dirimu."
Untuk sesaat, Laura menyelidik penampilan Aura. Menilai sebaik apa wanita pilihan pria yang dulu sangat disukainya. Memang tidak terlalu buruk. Tapi baginya, ia tetap yang terbaik untuk Steff.
Meski sudah dipandangi seperti itu, Aura tidak terpancing emosi. Ia tau memang kalau Laura sepertinya meremehkannya. Tapi dalam hatinya, ia merasa kalau ia sudah menang atas Laura. Bahkan saat status mereka masih belum jelas. Ia menang telak.
"Jadi yang kedua pun tidak masalah." Sepertinya Laura berucap penuh rasa putus asa.
Steff menggeleng kuat. Diraihnya kembali pundak Aura untuk dibawa dalam pelukannya. "Itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan bisa menyakiti hati wanitaku lagi. Sudah cukup selama ini ia menderita karena diriku. Sekarang tidak akan lagi." Ia bersungguh-sungguh mengucapkannya, berjanji dalam hatinya. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Baiklah. Kalau begitu, kutunggu dudamu." Laura bangkit dari duduknya. Sekali lagi menatap tidak suka pada Aura. Kemudian beralih pada Steff. "Sampai bertemu lagi, Steff."
Laura membalikkan badan. Berlalu meninggalkan pasangan pengantin baru itu. Rasanya saat ini bukan waktu yang tepat baginya. Entahlah di masa yang akan datang.
Steff memandangi kepergian wanita itu dengan menggelengkan kepala pelan. Sangat menyayangkan sikap Laura yang seperti itu. Seperti seorang yang rendahan. Tidak sepadan dengan wajahnya yang diakui Steff memang cukup menawan. Padahal seingatnya dulu Laura tidak serendah itu. Walau diakuinya memang beberapa kali wanita itu mengatakan kalau ia mencintai Steff.
"Ada apa? Melamun saja." Steff yang baru keluar dari kamar mandi menyadari sikap istrinya. Wanita itu sudah berada dalam posisinya semenjak Steff akan masuk ke kamar mandi tadi. Tapi wanita itu masih saja terdiam disana, bahkan setelah Steff keluar dari kamar mandi. Padahal ia mandi pun sudah cukup lama.
Aura menggeleng pelan. Tersenyum tipis, masih dengan memandangi pantulan dirinya di cermin.
Steff yang masih hanya mengenakan handuk di pinggangnya memposisikan diri tepat di belakang Aura. Ikut serta memandangi wajah cantik di dalam cermin.
Tubuhnya kemudian menunduk. Wajahnya sejajar dengan wajah Aura. Dagunya ditempelkan di bahu kanan istrinya itu. "Sangat cantik," pujinya pelan tepat di telinga Aura.