Sekali lagi Aura menarik nafas panjang. Hari ini sungguh hari yang mendebarkan untuknya. Persiapan yang mereka lakukan selama tiga bulan terakhir akan disaksikan oleh semua tamu undangan.
Ya, hari ini juga mereka akan menikah.
Waktu tiga bulan ternyata bukanlah waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Meski yang mereka rencanakan bukanlah sesuatu yang terbilang sangat mewah. Kedua calon pengantin lebih memilih pernikahan yang lebih intim dengan keluarga. Bahkan acaranya juga dilangsungkan di rumah Aura, dari pengikraran janji suci hingga resepsi sederhana.
"Ayo keluar," ajak Fany. Sudah waktunya untuk Aura dan Steff mengucapkan janji suci.
Aura mengangguk pelan. Lantas dengan bantuan sang kakak, dia bangkit dari duduknya. Gaun pengantinnya yang mengembang besar cukup membuatnya kesulitan untuk berdiri sendiri.
"Kak," panggilnya pelan sebelum mereka keluar kamar.
"Hm?" Fany menghentikan langkahnya lantas menoleh pada Aura, merasa kalau adiknya ingin mengatakan sesuatu.
"Apa kakak dulu juga merasa sangat gugup saat berada dalam posisi seperti Aura sekarang?" tanya Aura serius. Kedua matanya yang kini terhias indah menatap dalam pada kakaknya.
Fany tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Iya, kakak juga sangat gugup dulu. Dan kakak pikir itu adalah hal yang sangat wajar. Teman-teman kakak juga bilang begitu."
Fany kemudian melepas genggaman tangannya. Merubah posisi berdirinya menjadi tepat di hadapan Aura. Kedua tangannya menyentuh bahu adiknya yang terbuka.
"Kamu coba gunakan teknik kakak juga. Pejamkan mata kamu sekarang, bayangkan betapa bahagianya dirimu dengan Steff sekarang. Pikirkan hanya hal-hal yang bahagia saja. Mungkin kenangan pacaran kalian yang memang tak seberapa," kata Fany dengan sedikit nada geli.
Aura malah melotot pada kakaknya yang terkesan menertawakan hubungannya dengan Steff yang masih seumur jagung, lebih lama menunggu.
"Atau jangan bilang Steff tidak pernah membuatmu bahagia beberapa bulan ini?" selidik Fany.
Ya, Steff memang bukan sosok yang romantis, yang bisa menyenangkan hati para wanita dengan rayuan gombal atau perlakuan manisnya. Tapi Aura hanya mencebik tak suka pada tuduhan kakaknya yang mendekati tepat.
Aura segera memejamkan mata, melakukan seperti apa yang kakaknya idekan tadi. Membayangkan sesuatu yang indah bersama pujaan hatinya. Ia tersenyum dalam diamnya.
Fany yang melihatnya juga hanya bisa menyunggingkan senyumnya. Ia juga ikut merasakan betapa bahagianya sang adik sekarang. Apalagi ia tau persis bagaimana perjalanan cinta kedua mempelai yang akan menikah hari ini.
"Sudah?" tanya Fany setelah Aura membuka mata. "Gimana sekarang?" lanjutnya.
"Hm." Aura mengangguk, mengiyakan kalau kondisinya sekarang lebih baik.
"Ya sudah, ayo keluar. Steff pasti sudah cape menunggu," selorohnya.
Acara dilangsungkan di halaman samping rumah Aura yang memang lumayan luas -cukuplah untuk menampung seratus orang undangan. Tamu-tamu sudah memenuhi halaman, serta Steff yang sudah berdiri dengan gagahnya di ujung sana.
Jantung Aura kembali berdegup kencang. Terlebih saat melihat Steff yang tersenyum padanya. Ia hanya mampu menundukkan kepala. Memperhatikan langkahnya supaya tidak terjatuh hanya karena disenyumi si calon suami.
Kebahagiaannya sedikit bertambah saat melihat sendiri kalau mama Steff yang sebentar lagi akan menjadi mamanya juga ada di tempat ini. Wanita itu ternyata masih menyempatkan diri untuk menghadiri acara ini. Meski dengan wajah tanpa senyum sedikitpun.