***Steff sudah duduk di tepi kasurnya. Menunggu Aura yang masih berada di kamar mandi. Sudah hampir sepuluh menit, tapi Aura belum juga keluar. Padahal katanya ia hanya ingin buang air kecil.
Ia segera bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamar mandi dan mengetuk pintu. "Sayang..."
Tidak ada balasan dari dalam, bahkan setelah satu menit ia menunggu. Ia mengulang memanggil nama istrinya lagi.
"Hm, sebentar." Akhirnya Aura mengeluarkan suaranya.
"Kamu baik-baik saja? Kenapa tidak keluar juga?"
"I-iya. Aku baik-baik saja. Sebentar lagi akan selesai," balas Aura. Masih belum menampakkan wajahnya. Sejujurnya, ia sedang mengatur nafas di balik tembok yang memisahkan dirinya dengan Steff.
"Baiklah. Aku tunggu." Steff kembali ke tempatnya semula. Tapi kali ini dengan setengah membaringkan tubuhnya.
Beberapa menit kemudian, Aura akhirnya menampakkan dirinya. Terlihat ia merapatkan piyamanya sendiri sebelum bergabung dengan Steff. Melirik sekilas pada Steff.
Tanpa memikirkan apa-apa, Steff menarik tubuh Aura dengan mudah, membawa dalam pelukannya. Mengecup pipi Aura sekali.
Menahan rasa panas di tubuhnya, Aura menyembunyikan wajahnya. Gugup kembali melanda dirinya kala memikirkan suaminya akan meminta hal lebih.
Dan sepertinya memang benar adanya. Steff kini mulai menggoda dirinya dengan sentuhan-sentuhan lembut. Seluruh wajah Aura dikecupinya dan berakhir dengan ciuman hangat di bibir. Perlahan mengubah posisinya hingga dengan mudah menguasai Aura.
Aura menutup kedua matanya rapat-rapat. Menahan nafasnya, mencoba untuk bertahan. Hingga di satu titik, saat tangan Steff mulai menyentuh dadanya, ia mendorong kuat tubuh suaminya hingga terjengkang dari atas tubuhnya.
"Sayang, ada apa?" Steff bertanya, tapi kemudian bibirnya terkatup melihat Aura sekarang. Dengan mata yang masih terpejam, dan kedua tangan mengepal kuat di sisi tubuhnya. Tanpa harus berpikir lebih jauh, ia tau apa yang ada di pikiran istrinya saat ini.
Sepenuh hati, dengan gerakan lembut ia mencoba menenangkan Aura. Memberikan usapan lembut untuk mengendurkan kepalan tangan itu. Bisikan-bisikan sayang pun ia berikan pada istrinya. Diiringi permintaan maaf telah membuat istrinya takut.
Seperti sebuah mantra, Aura membuka matanya perlahan. Meski kepalan tangannya masih belum mengendur juga.
"Aku... Aku..." Aura tidak mampu mengeluarkan kata-katanya dengan benar. "Maaf." Hanya itu yang mampu ia ucapkan.
"Tidak apa-apa, sayang. Aku yang minta maaf sudah lancang." Steff memotongnya. Berusaha menahan diri ketika sesuatu di bawah sana menuntut.
Meski terlihat begitu tenang dan pembawaannya santai, tapi jangan lupakan kalau Steff adalah seorang pria dewasa yang normal. Ia juga memiliki kebutuhan satu itu. Apalagi dengan statusnya yang kini sah menjadi suami Aura, hal itu bukan lagi menjadi hal terlarang untuk mereka.
Tapi sepertinya ia harus bersabar untuk menunggu. Dan pastinya membantu Aura untuk menghilangkan trauma yang masih melanda istrinya itu.
"Maaf," bisiknya penuh kesungguhan. Didekapnya tubuh Aura, seiring dengan memikirkan cara apa yang harus dia lakukan ke depannya.
***
"Kenapa harus secepat itu pulangnya? Ibu sama ayah 'kan tidak punya kegiatan yang mendesak di rumah." Aura mencoba membujuk kedua orang tuanya yang akan kembali ke kampung halaman hari ini.
Ia menoleh pada Mario dan keluarga kecil Fany secara bergantian. "Abang juga 'kan masih punya cuti dua hari lagi. Pulangnya lusa saja," bujuknya pada Mario.