Aura mematung melihat siapa yang kini ada di hadapannya. Setelah acara lamaran yang tidak ada sisi romantisnya sedikit saja, kini Steff membawanya menghadap seseorang yang menurutnya cukup menguras tenaga.
Mama Steff. Wanita paruh baya itu ternyata sedang ada di kota ini untuk mengunjungi anak laki-lakinya. Bersama dengan Jasmine, adik Steff. Aura sama sekali tidak bisa menebak hal ini sebelumnya. Aura bahkan sejenak berpikir, kenapa harus wanita seperti ini yang menjadi ibu Steff.
Genggaman tangan Steff yang dirasakannya membuat ia yakin kalau Steff mendukungnya. Senyum tipis ia paksakan untuk muncul di bibirnya.
"Ma, aku datang dengan calon menantu mama," kata Steff memulai.
"Kalian duduklah." Meski bernada rendah, tapi masih terdengar ada ketidaksukaan di dalam kalimat itu.
Steff dan Aura duduk berdampingan. Sedikit takut-takut, Aura mengangkat wajahnya untuk melihat bagaimana reaksi dari calon mama mertuanya.
Cukup lama mereka terdiam, hingga Steff angkat suara. "Ma, katakan sesuatu."
Wanita itu menghela nafas pendek. "Mama memang ingin kamu menikah secepatnya, tapi bukan berarti kamu boleh menikah dengan siapa saja. Setidaknya perhatikan juga bibit bebet dan bobot calon pengantinmu."
Kalimat itu memang tidak mengandung kata-kata kasar dan tidak enak didengar. Tapi rasanya Aura ingin menangis ketika mendengarnya. Ia merasa kalau dirinya dianggap rendah oleh mama Steff. Apakah dirinya yang sekarang ini juga belum pantas menjadi pasangan Steff?
Aura merasakan genggaman tangan Steff menguat di tangannya. "Ma, aku sudah bilang kalau aku sendiri yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupku. Dan mama sudah berjanji kalau mama akan menyetujuinya."
"Ya, mama tidak berpikir akan seperti ini." Suara mama Steff sangat pelan, namun Aura masih bisa mendengar dengan jelas.
"Kalau mama tidak merestui kami, maka jangan harap mama akan melihat anak mama ini menikah sampai kapanpun. Aku hanya akan menikah dengan Aura saja. Dan ya, dengan atau tanpa restu mama pun kami akan tetap menikah." Steff langsung berdiri, masih tetap menggandeng tangan Aura.
"Steff..." Aura mencoba membujuk Steff. Ini bukan cara yang baik untuk meminta restu dari orang tua. Aura sendiripun masih tidak yakin bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti.
"Baiklah. Terserah pada kalian. Tapi jangan datang meminta pada mama saat kalian menyesal nanti." Kalimat itu yang diucapkan mama Steff sebelum ia meninggalkan ruangan.
Jasmine yang masih duduk di kursinya, bangkit mendekati Steff dan Aura. "Maaf ya, kak, kalau kata-kata mama bikin kakak sakit hati. Tapi aku sepenuhnya mendukung kalian, kok." Ia tersenyum manis, memamerkan kedua lesung pipinya. Kemudian berlalu meninggalkan pasangan itu.
"Setidaknya Jasmine masih ada di pihak kita," gumam Steff pelan.
~~~
Apa yang telah direncanakan oleh Steff tidak hanya di mulut saja. Keduanya kini telah kembali ke kampung halaman demi mendapatkan restu dari kedua orang tua Aura. Untuk urusan ini, Aura bahkan telah mengambil cuti selama beberapa hari.
"Apa kamu tau apa yang pernah terjadi pada Aura? Bukannya berniat melarang kalian, tapi om tidak ingin suatu saat nanti kamu kecewa dengan kebenaran tentang Aura. Bagi om, akan lebih baik om yang akan menjaga putri om selamanya daripada harus disakiti oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab."
Steff jelas tau kemana arah pembicaraan ayah Aura.
"Iya, om. Saya tau. Aura sudah pernah mengatakannya. Dan hal itu tidak menjadi masalah bagi saya." Ia menjawab dengan mantap.