Sekali lagi Aura memeriksa penampilannya di cermin di ruangannya. Apakah dia sudah cukup pantas? Dirapikannya lipstik peach di bibirnya, lalu menghela nafas. Pandangannya kemudian tertuju pada rambut sebahu yang dibiarkan tergerai. Disisir sekilas menggunakan jemari.
Keluar dari ruangannya langsung menuju lift yang akan membawanya ke lantai satu bangunan kantor, dimana kantin berada. Tempat biasanya dia menghabiskan jam istirahat sekaligus mengisi perut laparnya saat siang hari.
Ting!
Bunyi denting pertanda lift sudah tiba di lantai satu membuatnya semakin gugup. Jantungnya semakin berpacu, tidak menentu. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ah, dia seperti anak abg yang sedang jatuh cinta saja.
Langkahnya masih diiringi kegugupan, menuju kantin. Ya, disana ada Steff yang meminta bertemu lewat telefon tadi. Sosoknya sudah terlihat oleh Aura yang baru memasuki kantin. Pria itu duduk di meja paling pojok. Matanya tak lepas untuk menatap sosok yang terlihat jauh semakin tampan dan dewasa itu. Apalagi dengan sedikit bulu di sekitar rahangnya yang sepertinya memang disengaja.
Aura berjalan cepat menemuinya. Berusaha menepis apa saja hal buruk yang muncul di pikirannya. Sekedar menyapa 'hai' lalu duduk berhadapan dengan Steff.
"Apa kabar?" tanya Steff berusaha terlihat biasa. Sudut bibirnya sedikit terangkat yang semakin memperlihatkan kekakuan.
"Baik. Aku baik, Steff." Meski tidak dengan hatiku. "Bagaimana denganmu?" lanjutnya.
"Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik." Steff tersenyum tipis.
Aura membalas tersenyum, meski sedikit kaku -juga. "Hm, bagaimana dengan mobil kamu? Aku harus ganti berapa?" tanya Aura langsung to the point.
"Ah, tidak perlu memikirkannya. Lagipula bukan sesuatu yang parah." Steff terkekeh pelan.
Aura menatap -sedikit- tidak percaya. Kalau bukan untuk membayar ganti rugi, untuk apa Steff menghubunginya kalau bukan untuk membicarakan masalah kerusakan mobilnya? Apalagi Aura tau harga mobil yang dikendarai Steff itu tidaklah murah. Tergores sedikit saja, harus menguras isi dompet untuk memperbaikinya.
"Aku hanya tidak menyangka kalau kita akan bertemu di sini. Aku terlalu kaget dengan pertemuan tak sengaja kita tadi. Hm, jujur saja, aku sedikit merindukanmu, Ra. Uhm, tidak sedikit, tapi sangat merindukanmu." Steff menatap Aura sangat dalam. Berusaha meyakinkan Aura akan apa yang baru saja dia sampaikan untuk teman lamanya itu adalah sebuah kebenaran.
"Eh?" Aura malah tidak tau harus berkata apa untuk menanggapi Steff. Haruskah ia balas mengatakan kalimat yang sama?
Suasana malah jadi hening, hingga Steff mengajak makan siang. Memesan makanan sesuai dengan selera masing-masing, dan Steff yang mengambil tanggung jawab atasnya. Menganggapnya sebagai tanda pertemuan mereka kembali setelah sekian lama tak ada komunikasi sama sekali, yang Steff akui memang menjadi kesalahannya. Selama Aura dulu pernah berusaha menghubunginya, ia tau. Sangat tau. Tapi ia tidak pernah membalasnya untuk alasan tertentu yang hanya dia yang tau.
"Apa boleh aku menjemputmu sore nanti?" Steff menawarkan diri. Bertatap muka kurang dari satu jam ternyata tidak cukup bagi pria tampan itu. Dia benar-benar merindukan Aura.
"Tapi aku bawa motor sendiri," tolak Aura halus.
Steff tersenyum paksa. "Boleh main ke rumah kamu?"
"Hm, sebenarnya boleh saja. Tapi aku tidak yakin kamu akan nyaman di sana."
"Bagaimanapun keadaannya, bukan masalah untukku. Aku tidak pernah menilai seseorang dari apa yang dia miliki."
~~~
Aura termenung sendiri di mejanya. Pertemuannya dengan Steff kali ini ternyata tidak berakhir begitu saja. Pria itu seolah selalu membuat kesempatan untuk bertemu dengannya, lagi dan lagi. Setelah makan siang tadi, kali ini pria itu benar-benar akan mengunjungi tempat tinggalnya di kota ini. Menolak, tidak enak bagi Aura.
Dia akan tau yang sebenarnya, batin Aura. Tapi mungkin memang sudah waktunya dia mengetahui kenyataannya.
Aura merapikan meja dan tasnya. Steff pasti sudah menunggu di bawah, sesuai dengan janjinya tadi -jika pria itu menepatinya. Dia segera menyusul ke lobi kantor setelah memintai tolong seorang OB untuk mengeluarkan motor andalannya dari parkiran.
Benar saja, Steff sudah ada di sana. Duduk di kap mobilnya dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada, sementara lengan kemeja putihnya yang fit body sudah dilipat sebatas siku. Satu kakinya ditekuk setinggi lutut pada kap mobil.
Melihat posenya seperti itu, seolah seorang model profesional yang sedang dalam pemotretan. Tidak. Steff bahkan jauh lebih tampan dan menggoda. Lihat saja sejumlah wanita yang menatap lapar ke arahnya sekarang. Tanpa alasan jelas, ingin membuat Aura meledak-ledak, meluapkan emosi.
"Sudah lama menunggu?" sapa Aura setelah jarak mereka cukup dekat.
Steff menoleh cepat. "Oh, sudah datang rupanya. Tidak kok, aku juga baru tiba."
"Mau langsung pulang?" tanya Aura lagi yang dibalas anggukan oleh Steff.
Aura mengendarai motornya dan diikuti oleh Steff di dalam mobilnya. Sesekali melirik kaca spion untuk memastikan kalau pria itu masih berada di belakangnya.
Setelah perjalanan selama lima belas menit, mereka tiba di salah satu rumah sederhana. Ukurannya tidak begitu besar, tapi desain serta penataannya membuatnya terlihat istimewa.
Begitu Aura memarkirkan motornya, seorang anak perempuan berusia lima tahun datang menghampiri. "Mommy," teriaknya dan langsung memeluk kaki Aura.
Steff yang baru saja turun dari mobilnya langsung mematung. Mendengar seorang anak kecil memanggil Aura sebagai ibu, seolah sebuah belati yang menghunus dadanya. Apakah semuanya memang telah berubah? batinnya.
Aura mengangkat anak bernama Siera itu dalam pelukannya, menciumnya mesra layaknya seorang ibu. "Ayo masuk, Steff." Dia tetap ingat akan adanya Steff dengan mereka. Steff mengangguk dan melangkah kaku mengikuti dua wanita beda usia itu dengan pikiran yang masih berkecamuk.
"Mommy lama, Era nungguin sampe bosan," gerutu Siera -yang tak luput dari tatapan Steff sedikitpun. Jika dia perhatikan lebih dalam lagi, Siera memang sangat mirip dengan Aura. Dan hal itu membuat pikirannya semakin jauh.
Aura hanya tersenyum simpul. Satu tangannya bergerak mengelus rambut lembut Siera sembari duduk di sofa.
"Mau minum apa, Steff?" tanya Aura memecah pikiran pria itu.
"Oh, kopi saja."
Aura kemudian bangkit lagi dari duduknya untuk membuatkan minuman. Meninggalkan Steff dan Siera hanya berdua di ruang tamu yang mininalis namun tertata rapi. Tapi, sejauh yang dia lihat di dalam rumah ini, sama sekali tidak ada foto seorang pria yang mungkin kini berstatus sebagai suami Aura. Hanya ada foto ayahnya yang berdampingan dengan sang ibu.
Steff kemudian memandangi Siera dalam diam. Siapa gerangan pria yang menjadi ayah dari anak ini? Beruntung sekali dia, batinnya.
Merasa dipandangi, Siera balas memandang Steff. Sesaat ditelitinya, sama sekali tak ia kenal. "Om siapa?" Suara kecilnya menggema di tengah ruangan yang hening.
"Eh, hm, om temannya mommy kamu waktu sekolah dulu," jawabnya kemudian.
Aura muncul dari arah dapur membawakan kopi untuk Steff. "Oh iya. Era, ini om Steff. Teman sekolah mommy dulu. Dan Steff, ini Siera, anakku." Aura mengenalkan keduanya.
Hati Steff semakin terasa tercabik. Jadi benar aku sudah terlambat?
Tbc
Vote & commentSorry for typo (s)